Saya dipanggil ustaz. Alhamdulillah. Nggak minta, tapi orang-orang yang memanggil saya demikian. Nggak menyandang sebutan ustaz aja udah berat, apalagi menyandang sebutan ustaz.
Tentunya akan semakin berat. Sebab, ada amanah sebutan. Makin kudu (harus) jaga diri. Makin kudu jaga akhlak.

Tetapi, hal ini bisa salah niat. Sebab, menjaganya bukan karena Allah, melainkan karena manusia. Dan ini bisa fatal akibatnya.
Saat nggak ada manusia yang melihat, bisa jadi saya kemudian jadi ustaz yang malas, jahat, berkelakuan buruk, beribadah jelek. Akan berbeda ketika ada manusia, yang—mungkin—tampak rajin ibadah, dan lainnya.

Saya pilih dengan izin Allah, konten tahfiz, konten sedekah, dan beberapa konten utama lain. Lalu ada ustaz lain yang membantu. Bagaimana hati saya? Senangkah, atau sebel? Sukakah, atau kesal?
Kok membawakan materi saya sih? Jika ini yang tampak, masuklah saya juga—barangkali—kepada orang-orang yang salah niat.

Seharusnya kan dengan banyak yang membantu, maka akan banyak senangnya, karena banyak yang membantu dan menyebarkannya.
Jadi ustaz itu, bukan jualan isi air. Ini tamsil loh ya, hanya contoh, pemisalan saja. Jadi ustaz itu, ibaratnya membawa ember. Tujuannya untuk membagikan isi air kepada yang lain.

Maka manakala ada yang mau membantu, harusnya senang, karena mereka membantu membawakan dan membantu membagikannya.
Ya. Jadi ustaz bila kemudian saya malah jual air, bahkan jual embernya, maka makin celakalah saya. Sebab, saya sudah menjual agama saya. Berkedok sebagai ustaz —yang katanya membantu umat, menyelamatkan umat.

Saya ini berbicara untuk diri saya sendiri, untuk juga bicara tentang pemerintahan. Bila kurang atau tidak ikhlas, bila salah salah niat, maka yang ada adalah perang melulu, ribut melulu.

Jualan air terus. Bahkan jualan embernya juga, seperti yang saya ceritakan. Dia nggak mau dibantu, sebab salah niat. Bukan kepengen membagikan air, tetapi karena takut orang lain yang untung.

Saya melihat, dewasa ini persaingan semakin keras, dalam bidang apapun, bahkan cenderung kurang sehat. Mereka perlu diingatkan, sebab bila kurang niat, apalagi sampai salah niat, salah-salah, buru-buru menjual negara, buru-buru menggadaikan rakyat, menggadaikan amanah rakyat yang memercayainya.

Bila datang pujian, tentunya sebagai ustaz, saya harus mengembalikan kepada Allah. Sebab, jalan sebagai ustadz, Allah yang telah memberi. Juga konten, cara, kesempatan, umur, fisik, kebisaan.
Semua itu adalah fa minallaah yakni dari Allah. Bila ada hinaan, makian, celaan, cobaan, hambatan, atau apapun, maka sebaiknya kembalikan semuanya kepada Allah.

Demikian pula kiranya yang sedang memimpin saat ini. Yang sedang memerintah sekarang ini. Juga buat semua yang mengaku cinta negeri, bela negeri, cinta negara, bela Negara, atau membela kepentingan rakyat.
Semuanya perlu me-review (meninjau ulang) niatnya. Semuanya, di posisi apa pun mereka, dan di bidang apa pun.

Dan benarlah sabda Rasulullah SAW: ”Innamal a'malu binniyyah. Semua amal itu tergantung pada niatnya.” Jadi pengusaha, jika gagal, tentu akan sedih, dan kecewa. Sebab niatnya, barangkali kepengen sukses semata. Bukan pengen hidup manfaat dan bisa membantu orang.

Karena itu, mari kita sambil du’a bid du’a (saling mendoakan), supaya jadi apa pun, ngerjain apa pun, hendaknya bisa mengikhlaskan diri, semata-mata karena Allah.

Repulika : Ust. Yusuf Mansur





Alhamdulillah, sekarang sudah memasuki musim penghujan. Di mana-mana hujan turun. Ada yang lebat, sedang, tapi ada pula yang ringan.

Ketika hujan turun, beragam cara kita menyikapinya. Ada yang senang, gembira, dan penuh suka cita karena sudah lama hujan tak turun. Tapi banyak pula yang kesal, marah, jengkel, dan kecewa, karena merasa dirugikan akibat hujan tersebut.

Bagi yang senang dengan turunnya hujan, di antaranya adalah petani. Sebab, hujan akan menyuburkan lahannya yang tandus atau gersang. Hujan membuat tanamannya menjadi subur, sehingga penghasilannya pun akan bertambah.

Tetapi hujan yang turun secara terus menerus, terkadang juga menjadi bencana bagi petani. Hujan yang terus-menerus itu bisa menyebabkan tanamannya rusak.

Apalagi kalau sampai terjadi banjir, petani kerap mengeluh karena tanamannya menjadi puso atau gagal panen.

Seperti halnya petani yang mengeluh karena hujan yang turun secara terus-menerus, mayoritas umat manusia pun menyikapinya dengan cara yang sama.
Kesal, jengkel, marah, dan mengeluh, karena hujan telah merugikannya. Tak jarang, umpatan dan cacian terlontar dari mulutnya.

Mereka kecewa karena hujan merugikan dirinya. Para ibu pun tak kalah mengeluhnya. Jemuran tak kering, mau pergi ke mana-mana nggak bisa, nggak bisa pergi ke pasar, dan lain sebagainya.

Tukang ojek mengeluh karena hujan menyebabkan pendapatannya mungkin akan menurun. Dia tak bisa pergi mengantar penumpang, sebab penumpang lebih memilih naik angkutan umum.

Tetapi, di balik orang-orang yang mengeluh itu, banyak pula yang mensyukurinya. Sopir angkutan umum bersyukur dengan hujan yang turun, karena calon penumpang tukang ojek akan berpindah ke angkutan umum.

Tukang jual payung bersyukur karena jualan payungnya akan laris. Tukang jual jas hujan beruntung karena penjualan jas hujan akan meningkat.

Karena itu, tak semua orang merugi dengan datangnya hujan. Tak semua orang sengsara dengan hujan. Sebab, ada pihak lain yang mendapatkan manfaat dari hujan itu.

Lalu, bagaimanakah sikap kita sebagai seorang Muslim tatkala hujan turun? Sudah selayaknya kita bersyukur atas nikmat dan karunia Allah berupa hujan itu. Sebab, pada hakikatnya, tak ada satu pun ciptaan Allah SWT yang sia-sia atau tak bermanfaat.

"Yaitu orang-orang yang senantiasa mengingat Allah dengan berdiri, duduk atau sambil berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka." (QS Ali Imran [3]: 191).

Dan Rasulullah SAW mengajarkan kepada umat Islam, agar selalu berdoa di saat hujan turun. "Allahumma shabiyyan naafi'an. Ya Allah, jadikanlah hujan ini membawa manfaat."

"Dia-lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia-lah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan hujan itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS al-Baqarah [2]: 22).
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Syahruddin El-Fikri
Flag Counter

Recent Posts

Psy - Gangnam Style

Text Widget