Perang di Kurukshetra (Dewanagari: कुरुक्षेत्रयुद्ध; IAST: Kurukṣētrayud'dha), yang merupakan bagian penting dari wiracaritaMahabharata, dilatarbelakangi perebutan
kekuasaan antara lima putra Pandu (Pandawa) dengan seratus putra Dretarastra(Korawa). Dataran Kurukshetra yang
menjadi lokasi pertempuran ini masih bisa dikunjungi dan disaksikan sampai
sekarang.Kurukshetra terletak
di negara bagian Haryana, India.
Pertempuran tersebut tidak diketahui dengan
pasti kapan terjadinya, sehingga kadang-kadang disebut terjadi pada "Era
Mitologi". Beberapa peninggalan puing-puing di Kurukshetra (seperti
misalnya benteng) diduga sebagai bukti arkeologinya. Menurut kitab Bhagawadgita, perang di Kurukshetra
terjadi 3000 tahun sebelum tahun Masehi (5000 tahun yang lalu) dan hal tersebut
menjadi referensi yang terkenal.[2]
Meskipun pertempuran tersebut merupakan
pertikaian antar dua keluarga dalam satu dinasti, namun juga melibatkan berbagai
kerajaan di daratan India pada masa
lampau. Pertempuran tersebut terjadi selama 18 hari, dan jutaan
tentara dari kedua belah pihak gugur. Perang tersebut mengakibatkan banyaknya
wanita yang menjadi janda dan banyak anak-anak yang menjadi anak yatim. Perang
ini juga mengakibatkan krisis di daratan India dan merupakan gerbang menuju
zamanKaliyuga, zaman kehancuran menurut kepercayaan Hindu.
Kurukshetra, sebuah daratan suci bagi umat Hindu di Haryana (India).
Konon di tempat inilah perang Baratayuda berlangsung dan sloka-sloka dalam
kitabBhagawadgita diturunkan
Perang di Kurukshetra merupakan klimaks
dari Mahābhārata, sebuah wiracarita tentang
pertikaian Dinasti Kuru sebagai
titik sentralnya. Perebutan kekuasaan yang merupakan penyebab perang ini,
terjadi karena para putra Dretarastra tidak
mau menyerahkan tahta kerajaan Kuru kepada saudara mereka yang lebih tua,
yaitu Yudistira, salah satu lima putra Pandu alias Pandawa. Nama Kurukshetra yang
menjadi lokasi pertempuran ini bermakna "daratan Kuru", yang juga
disebut Dharmakshetra atau "daratan keadilan".
Lokasi ini dipilih sebagai ajang pertempuran karena merupakan tanah yang
dianggap suci oleh umat Hindu.
Dosa-dosa apa pun yang dilakukan di sana pasti dapat terampuni berkat kesucian
daerah ini.[3]
Dalam kitab Mahabharata disebutkan bahwa pangeran Dretarastra yang
buta sejak lahir terpaksa menyerahkan takhta kerajaan Kurudengan pusat pemerintahan di Hastinapura kepada
adiknya, Pandu,
meskipun dia merupakan putra sulung. Pandu berputra lima orang, yang dikenal
dengan sebutan Pandawa, dengan Yudistira sebagai putra
sulung. Setelah Pandu wafat, Dretarastra menggantikan posisinya sebagai kepala
pemerintahan sementara sampai kelak putra sulung Pandu dewasa.[2] Kelima
putra Pandu (Pandawa) dan seratus putra Dretarastra (Korawa) tinggal bersama di istana Hastinapura dan
dididik oleh guru yang sama, bernamaDrona dan Krepa.
Disamping itu, mereka dibimbing oleh seorang bijak bernama Bisma,
kakek mereka. Oleh guru dan kakeknya, Yudistira dianggap pantas meneruskan
takhta Kerajaan Kuru, sebab ia berkepribadian baik. Disamping itu, Yudistira
merupakan pangeran yang tertua di antara saudara-saudaranya.
Para Korawa, khususnya Duryodana, berambisi menguasai takhta Dinasti Kuru. Namun ambisi tersebut terhalangi
sebab Yudistira dipandang lebih layak menjadi Raja Kuru daripada Duryodana.
Untuk mewujudkan ambisinya, Duryodana berusaha menyingkirkan Yudistira dan para
Pandawa dengan berbagai upaya, termasuk melakukan usaha pembunuhan. Namun
kelima putra Pandu tersebut selalu selamat dari kematian, berkat perlindungan
dari pamannya dan sepupu mereka, yaitu Widura dan Kresna.[2].
Sebuah pohon beringin
yang dikeramatkan di Kurukshetra, yang dianggap sebagai saksi bisu
saat SriKresna menurunkan
sloka-sloka suci dalam kitab Bhagawadgita, sesaat sebelum perang
berlangsung.
Setelah gagal dalam usaha pembunuhan,
kemudian Korawa memutuskan
untuk menipu para Pandawa dengan cara mengajak mereka bermain dadu, dengan
syarat yang kalah harus meninggalkan istana selama tiga belas tahun. Permainan
dadu yang sudah disetel dengan licik mengakibatkan Pandawa kalah, sehingga
mereka harus meninggalkan kerajaan selama tiga belas tahun dan terpaksa
mengasingkan diri ke hutan. Sebelum Pandawa dibuang, Dretarastra berjanji akan
menyerahkan takhta kerajaan Kuru kepada Yudistira sebab ia merupakan putra mahkota
Dinasti Kuru yang sulung.
Setelah masa pengasingan selama tiga belas
tahun berakhir, sesuai dengan perjanjian yang sah, Pandawa berhak
meminta kembali kerajaannya. Namun Duryodana menolak
mentah-mentah untuk menyerahkan kembali kerajaannya. Meskipun mendapatkan
tanggapan seperti itu, Yudistira dan adik-adiknya masih mampu bersabar. Sebagai
seorang pangeran, Pandawa merasa
wajib dan berhak turut serta dalam administrasi pemerintahan, maka mereka
meminta lima buah desa saja. Tetapi Duryodana sombong dan berkata bahwa ia
tidak bersedia memberikan tanah kepada para Pandawa, bahkan yang seluas ujung
jarum pun. Jawaban itu membuat para Pandawa tidak bisa bersabar lagi dan perang
tak bisa dihindari. Di pihak lain, Duryodana pun sudah mengharapkan peperangan.[2]
Sebelum keputusan untuk berperang
diumumkan, para Pandawa berusaha
mencari sekutu dengan mengirimkan surat permohonan kepada para raja di daratan India Kunoagar mau mengirimkan
pasukannya untuk membantu para Pandawa jika perang tidak batal dilakukan.
Begitu juga yang dilakukan oleh para Korawa, mencari sekutu. Hal itu membuat para raja di
daratan India Kuno terbagi menjadi dua pihak, pihak Pandawa dan pihak Korawa.
Sementara itu, Kresna mencoba
untuk melakukan perundingan damai. Kresna pergi ke Hastinapura untuk
mengusulkan perdamaian antara pihak Pandawa dan Korawa. Namun Duryodana menolak
usul Kresna dan merasa dilecehkan, maka ia menyuruh para prajuritnya untuk
menangkap Kresna sebelum meninggalkan istana. Tetapi Kresna bukanlah manusia
biasa. Ia mengeluarkan sinar menyilaukan yang membutakan mata para prajurit
Duryodana yang hendak menangkapnya. Pada saat itu pula ia menunjukkan bentuk
rohaninya yang hanya disaksikan oleh tiga orang berhati suci: Bisma, Drona,
dan Widura.
Setelah Kresna meninggalkan istana Hastinapura, ia pergi ke Uplaplawya untuk
memberitahu para Pandawa bahwa perang tak akan bisa dicegah lagi. Ia meminta
agar para Pandawa menyiapkan tentara dan memberitahu para sekutu bahwa perang
besar akan terjadi.
Sebuah ilustrasi kereta perang yang digunakan saat perang di
Kurukshetra. Lukisan ini menggambarkan Kresna yang
sedang menjadi kusir kereta Arjuna. Lukisan dibuat sekitar abad ke-18.
Kresna tidak
bersedia bertempur secara pribadi. Ia mengajukan pilihan kepada para Pandawa dan Korawa, bahwa salah satu boleh meminta pasukan Kresna yang
jumlahnya besar sementara yang lain boleh memanfaatkan tenaganya sebagai
seorang ksatria. Mendapat kesempatan itu, Arjuna dan Duryodana pergi
ke Dwaraka untuk
memilih salah satu dari dua pilihan tersebut.
Duryodana jenius di bidang politik, maka ia
memilih tentara Kresna. Sedangkan para Pandawa yang
diwakili Arjuna, bersemangat untuk meminta tenaga Sri Kresna sebagai seorang
penasihat dan memintanya agar bertempur tanpa senjata di medan laga. Sri Kresna
bersedia mengabulkan permohonan tersebut, dan kedua belah pihak merasa puas.
Pandawa telah mendapatkan tenaga Kresna,
sementara Korawa telah mendapatkan tentara Kresna. Persiapan perang
dimatangkan. Sekutu kedua belah pihak yang terdiri dari para Raja dan ksatria
gagah perkasa dengan diringi pasukan yang jumlahnya sangat besar berdatangan
dari berbagai penjuru India dan berkumpul di markasnya masing-masing. Pandawa
memiliki tujuh divisi sementara Korawa memiliki sebelas divisi. Beberapa kerajaan
pada zaman India kuno seperti Kerajaan Dwaraka, Kerajaan Kasi, Kerajaan Kekeya, Magada, Matsya, Chedi, Pandya dan
wangsa Yadu dari Mandura bersekutu
dengan para Pandawa; sementara sekutu para Korawa terdiri dari Raja Pragjyotisha,
Raja Angga, Raja Kekaya, Raja Sindhu, kerajaan Kosala, Kerajaan Awanti, Kerajaan Madra,Kerajaan Gandhara, Kerajaan Bahlika, Kamboja, dan masih banyak lagi.
Pasukan Pandawa dibagi menjadi tujuh aksohini (divisi).
Setiap aksohini dipimpin oleh Raja Drupada dan
kedua putranya — Pangeran Drestadyumna dan
Pangeran Srikandi —
dari Panchala, Raja Wirata dari Matsya, Satyaki, Cekitana dan Bima.
Setelah berunding dengan para pemimpin mereka, para Pandawa menunjuk
Drestadyumna sebagai panglima perang pasukan Pandawa. Kitab Mahabharata menyebutkan bahwa seluruh kerajaan di
daratan India utara bersekutu dengan Pandawa dan memberikannya pasukan yang
jumlahnya besar. Beberapa di antara mereka yakni: Kerajaan Kekeya, Kerajaan Pandya, Kerajaan Chola, Kerajaan Kerala, Kerajaan Magadha, dan masih banyak lagi.
Duryodana meminta Bisma untuk memimpin pasukan Korawa. Bisma menerimanya dengan perasaan bahwa ketika ia
bertarung dengan tulus ikhlas, ia tidak akan tega menyakiti para Pandawa. Bisma juga tidak ingin bertarung di
sisi Karna dan tidak akan membiarkannya menyerang
Pandawa tanpa aba-aba darinya. Bisma juga tidak ingin dia dan Karna menyerang
Pandawa bersamaan dengan ksatria Korawa lainnya. Ia tidak ingin penyerangan
secara serentak dilakukan oleh Karna dengan alasan bahwa kastaKarna
lebih rendah daripada kastanya. Bagaimanapun juga, Duryodana memaklumi keadaan
Bisma dan mengangkatnya sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa. Pasukan
dibagi menjadi sebelas divisi. Seratus Korawa dipimpin
oleh Duryodana sendiri bersama dengan adiknya — Dursasana, putera kedua Dretarastra, dan dalam
pertempuran tersebut Korawa dibantu oleh Drona dan putranya Aswatama, kakak ipar para Korawa — Jayadrata, serta guru mereka — Krepa.
Selain itu, turut pula Kertawarma dari Wangsa Yadawa, Salya dari Madra, Sudaksina dari Kamboja, Burisrawa putra
Somadatta, Raja Bahlika, Sangkuni dari Gandhara, Wrehadbala Raja Kosala, Winda dan Anuwinda dariAwanti, dan masih banyak lagi para ksatria dan
raja yang memihak Korawa demi Hastinapura maupun Dretarastra.
Peta kerajaan
pada zaman India kuno. Seluruh kerajaan menjadi dua kelompok yang
memihakKorawa maupun Pandawa. Daratan Kurukshetraterletak di sebelah utara.
Setiap pihak memiliki jumlah pasukan yang
besar. Pasukan tersebut dibagi ke dalam aksohini (divisi).
Setiap aksohini berjumlah 218.700 prajurit yang terdiri dari:
·
21.870 pasukan berkereta kuda
·
21.870 pasukan penunggang gajah
·
65.610 pasukan penunggang kuda
·
109.350 tentara darat (infantri)
Perbandingan jumlah mereka adalah 1:1:3:5.
Pasukan Pandawa memiliki 7 divisi, dengan total pasukan 1.530.900 prajurit.
Pasukan Korawa memiliki 11 divisi, dengan total pasukan 2.405.700 prajurit.
Total seluruh pasukan yang terlibat dalam perang adalah 3.936.600 orang. Jumlah
pasukan yang terlibat dalam perang sangat banyak, sebab divisi pasukan kedua
belah pihak merupakan gabungan dari divisi pasukan kerajaan lain diseluruh
daratan India.
Senjata yang digunakan dalam perang di
Kurukshetra merupakan senjata kuno dan primitif, contohya: panah, tombak,pedang, golok, kapak-perang, gada,
dan sebagainya. Para ksatria terkemuka seperti Arjuna, Bisma, Karna, Aswatama,Drona,
dan Abimanyu, memilih senjata panah karena sesuai
dengan keahlian mereka. Bima dan Duryodana memilih
senjata gada untuk bertarung. Meskipun demikian, tidak selamanya ksatria
tersebut hanya menggunakan satu jenis senjata saja. Kadangkala, Bima
menggunakan panah, sedangkan Abimanyu menggunakan pedang.
Ilustrasi formasi Cakrabyuha (formasi
melingkar), salah satu formasi perang yang digunakan oleh pihak Korawa.
Formasi militer adalah hal yang penting
untuk mencapai kemenangan dalam peperangan. Dengan formasi yang baik dan
sempurna, maka musuh juga lebih mudah ditaklukkan. Ada beberapa formasi militer
yang disebutkan dalam Mahabharata, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan tersendiri. Beberapa macam formasi militer tersebut
sebagai berikut:
·
Krauncabyuha (formasi bangau)
·
Cakrabyuha (formasi
cakram/melingkar)
·
Kurmabyuha (formasi kura-kura)
·
Makarabyuha (formasi buaya)
·
Trisulabyuha (formasi trisula)
·
Sarpabyuha (formasi ular)
·
Kamalabyuha atau Padmabyuha (formasi
teratai)
Sulit mengindikasi dengan tepat makna dari
nama-nama formasi tersebut. Nama formasi mungkin saja mengindikasi bahwa sebuah
pasukan memilih suatu bentuk tertentu (seperti elang, bangau, dll.) sebagai
formasi, atau mungkin saja nama suatu formasi berarti strategi mereka mirip
dengan suatu hewan/hal tertentu.
Dua pemimpin tertinggi dari kedua belah
pihak bertemu dan membuat "peraturan tentang perlakuan yang etis" (Dharmayuddha)
sebagai aturan perang. Peraturan tersebut sebagai berikut:
·
Pertempuran harus dimulai setelah matahari
terbit dan harus segera dihentikan saat matahari terbenam.
·
Pertempuran satu lawan satu; tidak boleh
mengeroyok prajurit yang sedang sendirian.
·
Dua kesatria boleh bertempur secara pribadi
jika mereka memiliki senjata yang sama atau menaiki kendaraan yang sama (kuda,
gajah, atau kereta).
·
Tidak boleh membunuh prajurit yang
menyerahkan diri.
·
Seseorang yang menyerahkan diri harus
menjadi tawanan perang atau budak.
·
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit
yang tidak bersenjata.
·
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit
yang dalam keadaan tidak sadar.
·
Tidak boleh membunuh atau melukai seseorang
atau binatang yang tidak ikut berperang.
·
Tidak boleh membunuh atau melukai prajurit
dari belakang.
·
Tidak boleh menyerang wanita.
·
Tidak boleh menyerang hewan yang tidak
dianggap sebagai ancaman langsung.
·
Peraturan khusus yang dibuat untuk setiap
senjata mesti diikuti. Sebagai contoh, dilarang memukul bagian pinggang ke
bawah pada saat bertarung menggunakan gada.
·
Bagaimanapun juga, para kesatria tidak
boleh berjanji untuk berperang dengan curang.
Meskipun aturan perang telah disepakati,
banyak prajurit dan kesatria dari kedua belah pihak yang melanggarnya, dan
tidak jarang mereka melakukannya.
Pertempuran berlangsung selama 18 hari.
Pertempuran berlangsung pada saat matahari muncul dan harus segera diakhiri
pada saat matahari terbenam. Kedua belah pihak bertarung di dataran Kurukshetra dan
setiap hari terjadi pertempuran yang berlangsung sengit dan mengesankan. Dalam
setiap pertarungan yang terjadi dalam 18 hari tersebut, ksatria yang tidak
terbunuh dan berhasil mempertahankan nyawanya adalah pemenang karena
pertempuran tersebut adalah pertempuran menuju kematian. Siapa yang bertahan
hidup dan berhasil memusnahkan lawan-lawannya, dialah pemenangnya.
Pada hari pertempuran pertama, begitu juga
pada hari-hari berikutnya, pasukan para Korawa berbaris menghadap barat
sedangkan pasukan para Pandawa berbaris menghadap timur. Pasukan Korawa
membentuk formasi seperti burung elang: pasukan penunggang gajah sebagai
tubuhnya; pasukan para Raja dan ksatria di barisan depan sebagai kepalanya; dan
pasukan penunggang kuda sebagai sayapnya. Dalam urusan perang, Bisma berkonsultasi dengan panglima Drona, Bahlika dan Krepa.
Pasukan Pandawa diatur oleh Yudistira dan Arjuna agar
membentuk "formasi Bajra". Karena pasukan Pandawa lebih kecil
daripada pasukan Korawa, maka strategi berperang dibuat agar memungkinkan
pasukan yang kecil untuk menyerang pasukan yang besar. Sesuai strategi Pandawa,
pasukan pemanah akan menghujani musuh dengan panah dari belakang pasukan garis
depan. Pasukan garis depan menggunakan senjata langsung jarak pendek seperti: gada, pedang, kapak, tombak, dll. Pasukan Korawa terdiri dari sebelas divisi di
bawah perintah Bisma.
Sepuluh divisi pasukan Korawa membentuk barisan yang sangat hebat, sedangkan
divisi kesebelas masih berada di bawah aba-aba langsung dari Bisma, dan
sebagian divisi melindunginya dari serangan langsung karena Bisma sangat
berguna dan merupakan harapan untuk menang.
Setelah sepakat dengan formasi dan strategi
masing-masing, pasukan kedua belah pihak berbaris rapi. Duryodana optimis
melihat pasukan Korawa memiliki para kesatria tangguh yang setara dengan Bima dan Arjuna. Namun ada tokoh-tokoh lain yang setara dengan
mereka seperti Yuyudana (Satyaki), Wirata, dan Drupada yang
ia anggap sebagai batu rintangan dalam mencapai kajayaan dalam pertempuran. Ia
juga optimis karena ksatria-ksatria yang sangat ahli di bidang militer, yaitu Bisma, Karna, Kertawarma,Wikarna, Burisrawa, dan Krepa,
ada di pihaknya. Selain itu Raja agung seperti Yudhamanyu dan Uttamauja yang sangat perkasa juga turut
berpartisipasi dalam pertempuran sebagai penghancur bagi musuh-musuhnya. Bisma,
dengan diikuti oleh Para Raja dan ksatria dari kedua belah pihak meniup
"sangkala" (terompet kerang) mereka tanda pertempuran akan segera
dimulai.
Ketika terompet sudah ditiup dan kedua
pasukan sudah berhadap-hadapan, bersiap-siap untuk bertempur, Arjuna menyuruh Kresna, guru spiritual sekaligus kusir keretanya, agar
mengemudikan keretanya menuju ke tengah medan pertempuran supaya ia bisa
melihat, siapa yang siap bertempur dan siapa yang harus ia hadapi. Tiba-tiba
Arjuna dilanda perasaan takut akan kemusnahan wangsa Bharata, keturunan Kuru, nenek moyangnya. Arjuna juga dilanda
kebimbangan akan melanjutkan pertarungan atau tidak. Ia melihat kakek
tercintanya, bersama-sama dengan gurunya, paman, saudara sepupu, ipar, mertua,
dan teman bermain semasa kecil, semuanya kini berada di Kurukshetra, harus bertarung dengannya dan
saling bunuh. Arjuna merasa lemah dan tidak tega untuk melakukannya.
Dilanda oleh pergolakan batin, antara mana
yang merupakan ajaran agama, mana yang benar dan mana yang salah, Arjuna
bertanya kepada Kresna yang
mengetahui dengan baik segala ajaran agama. Kresna, yang memilih menjadi kusir
kereta Arjuna, menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-ajaran ketuhanan dan
kewajiban seorang kesatria, agar dapat membedakan antara yang baik dengan yang
salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang
sangat terkenal yang bernamaBhagawadgita. Dalam Bhagawadgita, Kresna menyuruh
Arjuna untuk tidak ragu dalam melakukan kewajibannya sebagai seorang ksatria
yang berada di jalur yang benar. Ia juga mengingatkan bahwa kewajiban Arjuna
adalah membunuh siapa saja yang ingin mengalahkan kebajikan dengan kejahatan.
Kemudian Sri Kresna menunjukkan bentuk semestanya kepada Arjuna, agar Arjuna
tahu siapa ia sesungguhnya sehingga segala keraguan dalam hatinya sirna. Dalam
wujud semesta tersebut, ia meyakinkan Arjuna bahwa sebagian besar para ksatria
perkasa dikedua belah pihak telah dihancurkan, dan yang bertahan hidup hanya beberapa
orang saja, maka tanpa ragu Arjuna harus mau bertempur.
Sebuah patung di Singapura, yang menggambarkan adegan Kresna
menampakkan wujud rohaninya (Wiswarupa) kepada Arjuna.
Sebelum pertempuran dimulai, Yudistira melakukan
sesuatu yang mengejutkan. Tiba-tiba ia meletakkan senjata, melepaskan baju zirah, turun dari kereta dan berjalan ke
arah pasukan Korawa dengan mencakupkan tangan seperti berdoa. Para Pandawa dan
paraKorawa tidak
percaya dengan apa yang dilakukannya, dan mereka berpikir bahwa Yudistira sudah
menyerah bahkan sebelum panah sempat melesat. Ternyata Yudistira tidak
menyerah. Dengan hati yang suci Yudistira menyembah Bisma dan memohon berkah akan keberhasilan.
Bisma, kakek dari para Pandawa dan Korawa, memberkati Yudistira. Setelah itu,
Yudistira kembali menaiki keretanya dan pertempuran siap untuk dimulai.
Setelah isyarat penyerangan diumumkan,
kedua belah pihak maju dengan senjata lengkap. Divisi pasukan Korawa dan divisi
pasukan Pandawa saling bantai. Bisma maju menyerang tentara Pandawa dan
membinasakan apapun yang menghalangi jalannya. Abimanyuputra Arjuna melihat
hal tersebut dan menyuruh para pamannya agar berhati-hati. Ia sendiri mencoba
menyerang Bisma dan para pengawalnya, namun usaha para kesatria Pandawa tidak
berhasil. Mereka menerima kekalahan.
Putra Raja Wirata – Utara – maju menghadapi Salya Raja Madra. Utara yang menaiki gajah perang,
mencoba melumpuhkan kereta perang Salya. Setelah keretanya lumpuh, Salya
meluncurkan senjata lembingnya ke arah Utara. Senjata tersebut menembus baju zirah Utara.
Kemudian, Salya menyerang gajah tunggangan Utara dengan panah-panahnya. Utara
dan gajahnya pun gugur seketika. Setelah Utara gugur, Sweta mengamuk. Dengan nafsu membunuh, ia
mengejar Salya. Para kesatria Korawa yang menyadari hal itu segera melindungi
Salya, namun tidak ada yang mampu mengatasi kemarahan Sweta. Akhirnya Bisma
turun tangan. Dengan senjata khusus, ia memanah Sweta sehingga kesatria
tersebut gugur seketika.
Pada hari kedua, Arjuna bertekad
untuk membalikkan keadaan yang didapat pada hari pertama. Arjuna mencoba untuk
menyerang Bisma dan membunuhnya, namun para pasukan
Korawa berbaris di sekeliling Bisma dan melindunginya dengan segenap tenaga
sehingga meyulitkan Arjuna. Pasukan Korawa menyerang Arjuna yang hendak
membunuh Bisma. Kedua belah pihak saling bantai, dan sebagian besar pasukan
Korawa gugur di tangan Arjuna. Setelah menyapu seluruh pasukan Korawa, Arjuna
dan Bisma terlibat dalam duel sengit. Sementara itu Drona menyerang Drestadyumna bertubi-tubi
dan mematahkan panahnya berkali-kali. Bima yang melihat keadaan tersebut
menyongsong Drestadyumna dan menyelamatkan nyawanya. Duryodana mengirim
pasukan bantuan dari kerajaan Kalinga untuk
menyerang Bima, namun serangan dari Duryodana tidak berhasil dan pasukannya
gugur semua. Satyaki yang
bersekutu dengan Pandawa memanah kusir kereta Bisma sampai meninggal. Tanpa
kusir, kuda melarikan kereta Bisma menjauhi medan laga. Di akhir hari kedua,
pihak Korawa mendapat kekalahan.
Pada hari ketiga, Bisma memberi instruksi agar pasukan Korawa
membentuk formasi burung elang dengan dirinya sendiri sebagai panglima berada
di garis depan sementara tentara Duryodana melindungi
barisan belakang. Bisma ingin agar tidak terjadi kegagalan lagi. Sementara itu
para Pandawa mengantisipasinya dengan membentuk formasi bulan sabit dengan Bimadan Arjuna sebagai
pemimpin sayap kanan dan kiri. Pasukan Korawa menitikberatkan penyerangannya
kepada Arjuna. Kemudian kereta Arjuna diserbu oleh berbagai panah dan tombak.
Dengan kemahirannya yang hebat, Arjuna membentengi keretanya dengan arus panah
yang tak terhitung jumlahnya.
Abimanyu dan Satyaki menggabungkan
kekuatan untuk menghancurkan tentara Gandara milik Sangkuni. Bima dan putranya,Gatotkaca, menyerang Duryodana yang berada di
barisan belakang. Panah Bima melesat menuju Duryodana yang menukik di atas
keretanya. Kusir keretanya segera membawanya menjauhi pertempuran. Tentara
Duryodana melihat pemimpinnya menjauhi pertarungan. Bisma melihat hal tersebut
lalu menyuruh agar pasukan bersiap siaga dan membentuk kembali formasi,
kemudian Duryodana datang kembali dan memimpin tentaranya. Duryodana marah
kepada Bisma karena masih segan untuk menyerang para Pandawa. Bisma kemudian
sadar dan mengubah perasaannnya kepada para Pandawa.
Arjuna dan Kresna mencoba
menyerang Bisma. Arjuna dan Bisma sekali lagi terlibat dalam pertarungan yang
bengis, meskipun Arjuna masih merasa tega dan segan untuk melawan kakeknya. Kresna menjadi
sangat marah dengan keadaan itu dan berkata, "Aku sudah tak bisa bersabar
lagi, Aku akan membunuh Bisma dengan tanganku sendiri," lalu ia mengambil
sejata cakranya dan
berlari ke arah Bisma. Arjuna berlari mengejarnya dan mencegah Kresna untuk
melakukannya. Kemudian mereka berdua melanjutkan pertarungan dan membinasakan
banyak pasukan Korawa.
Hari keempat merupakan hari dimana Bima menunjukkan keberaniannya. Bisma memerintahkan pasukan Korawa untuk
bergerak. Abimanyu dikepung
oleh para ksatria Korawa lalu diserang. Arjuna melihat hal tersebut lalu
menolong Abimanyu. Bima muncul pada saat yang genting tersebut lalu menyerang
para kstria Korawa dengan gada.
KemudianDuryodana mengirimkan
pasukan gajah untuk menyerang Bima. Ketika Bima melihat pasukan gajah menuju ke
arahnya, ia turun dari kereta dan menyerang mereka satu persatu dengan gada
baja miliknya. Mereka dilempar dan dibanting ke arah pasukan Korawa. Kemudian
Bima menyerang para kesatria Korawa dan membunuh delapan adik Duryodana.
Akhirnya ia dipanah dan tersungkur di keretanya. Gatotkaca melihat
hal tersebut, lalu merasa sangat marah kepada pasukan Korawa. Bisma menasehati
bahwa tidak ada yang mampu melawan Gatotkaca yang sedang marah, lalu menyuruh
pasukan agar mundur. Pada hari itu, Duryodana merasa sedih telah kehilangan
saudara-saudaranya.
Saat pertempuran di hari itu berakhir,
Duryodana yang diliputi duka dan kekecewaan datang menemui Bisma untuk
menanyakan penyebab Pandawa mampu bertahan dan mengalahkan kekuatan pasukan
Korawa yang konon amat dahsyat. Bisma menjawab bahwa Pandawa bertindak di bawah
panji kebenaran, sehingga lebih baik mengadakan perjanjian damai dengan mereka.
Namun Duryodana yang keras kepala tidak mau menuruti nasihat tersebut.
Ilustrasi perang di
Kurukshetra dari kitabMahabharata.
Pada hari kelima, pertempuran terus
berlanjut. Pasukan Pandawa dengan segenap tenaga membalas serangan Bisma. Bimaberada
di garis depan bersama Srikandi dan Drestadyumna di
sampingnya. Satyaki berhadapan
dengan Drona dan kesulitan untuk membalas
serangannya. Bima pergi meninggalkan Srikandi yang
menyerang Bisma.
Karena Srikandi berperan sebagai seorang wanita, Bisma menolak untuk bertarung
dan pergi. Sementara itu, Satyaki membinasakan pasukan besar yang dikirim untuk
menyerangnya. Pertempuran dilanjutkan dengan pertarungan antara Setyaki melawan Burisrawa dan
kemudian Satyaki kesusahan sehingga berada dalam situasi genting. Melihat hal
itu, Bima datang melindungi Satyaki dan menyelamatkan nyawanya. Di tempat lain, Arjuna bertempur
dan membunuh ribuan tentara yang dikirim Duryodana untuk
menyerangnya.
Bima bertarung melawan Drona dengan sengit. Bima memanah kusir
kereta Drona sehingga tewas seketika. Drona mengambil alih kedudukan kusirnya, lalu
menghancurkan sebagian besar pasukan Pandawa. Serangan Drona dihadapi oleh Drestadyumna. Sementara itu, Bima melancarkan
serangan ke garis pertahanan yang terdiri dari putra-putraDretarastra, yaitu: Dursasana, Durwisaha, Dursaha, Durmada, Jaya,
Jayasena, Wikarna, Citrasena, Sudarsana, Carucitra, Duskarna, Karna (Karna adik
Duryodana, bukanKarna sahabat
Duryodana). Mereka semua mengepung Bima dari segala penjuru. Bima meloncat
turun dari keretanya sambil membawa gada.
Di tengah pasukan musuh, Bima mengamuk sehingga pasukan Korawa kacau-balau.
Melihat Bima dalam bahaya, Drestadyumna segera meninggalkan Drona dengan maksud
membantu Bima. Dengan bantuan Drestadyumna, Bima menghancurkan pasukan Korawa
dengan lebih mudah.
Setelah menyaksikan Bima dalam bahaya,
Yudistira mengirim Abimanyu untuk
membantu pamannya tersebut. Abimanyu melawan para putra Dretarastra, sementaraDuryodana dihadapi
oleh lima putra Dropadi, yaitu Pratiwindya, Sutasoma, Srutakarma, Satanika, dan Srutakirti. Menjelang sore hari, Bisma masih
mengamuk menghancurkan pasukan Pandawa. Akhirnya, matahari terbenam dan seluruh
pasukan ditarik mundur pada malam hari itu.
Pada hari ketujuh, pasukan Korawa di bawah
instruksi Bisma membentuk formasi Mandala. Untuk
mengantisipasinya, Yudistira menginstruksikan
agar pasukan Pandawa membentuk formasi Bajra. Arjuna berhasil
merusak formasi Mandala, sehingga Bisma maju untuk menghadapinya. Sementara
itu, Drona bertarung menghadapi Wirata RajaMatsya. Dengan serangan panahnya, Drona
membuat kereta perang Wirata lumpuh. Kemudian Wirata meloncat dari keretanya
untuk berpindah ke kereta Sangka, putranya. Meskipun Wirata dan Sangka sudah
menggabungkan kekuatan, namun Drona masih tak terkalahkan. Sebaliknya, Drona
berhasil menembakkan empat batang panah penembus baju zirah ke
arah Sangka. Panah tersebut bersarang di dada Sangka, kemudian merenggut
nyawanya.
Sementara itu, Satyaki bertarung
menghadapi raksasa Alambusa, sedangkan Drestadyumna menghadapi Duryodana. Satyaki berhasil mengalahkan
raksasa Alambusa, sementara Drestadyumna berhasil melukai tubuh Duryodana
dengan tujuh anak panah. Kemudian panah-panah menembus tubuh kuda dan kusir
kereta Duryodana sehingga kendaraan tersebut lumpuh. Duryodana meloncat dari
keretanya lalu diselamatkan oleh pamannya, Sangkuni dari Gandhara. Di tempat lain, Srikandi maju
menghadapi Bisma. Bisma tidak menghiraukan Srikandi karena kesatria tersebut
bersifat kewanitaan, sehingga ia lebih memilih menghancurkan pasukan Srinjaya,
sekutu Pandawa.
Pada hari tersebut, para kesatria Korawa
lebih banyak menderita kekalahan dibandingkan pihak Pandawa. Hal tersebut
membuat Dretarastra, ayah para Korawa merasa sedih.Sanjaya,
penasihat Dretarastra mengatakan bahwa ia tidak perlu bersedih sebab kehancuran
putra-putranya disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri. Sanjaya menambahkan,
bahwa kematian para kesatria yang gugur di medan perang akan membuka jalan
surga bagi mereka.
Pada hari kedelapan, Bima membunuh delapan putera Dretarastra, yaitu: Sunaba, Adityaketu,
Wahwasin, Kundadara, Mahodara, Aparajita, Panditaka dan Wisalaksa. Sunaba,
Adityaketu, Aparajita dan
Wisalaksa gugur dengan kepala terpenggal, sedangkan yang lainnya gugur karena
senjata panah yang diluncurkan Bima. Setelah menyaksikan kematian mereka,
Duryodana memerintahkan para saudaranya yang masih hidup untuk membunuh Bima.
Namun tak satu pun putra Dretarastra yang
berani maju menghadapi Bima setelah mereka menyaksikan kematian delapan
saudaranya.
Sementara itu, Sangkuni putra
Subala, dengan didampingi oleh putra Hredika dari kerajaan Satwata, menyerbu
pasukan Pandawa. Pasukan penyerbu tersebut merupakan kavaleri gabungan dari
berbagai kerajaan di
India, seperti Kamboja, Sindhu, Mahi, Aratta, dll. Untuk
menandinginya, Irawan putra
Arjuna maju ke medan laga sambil membawapasukan berkuda dalam jumlah besar. Dengan pedang dan
panah, Irawan berhasil membunuh para saudara Sangkuni, kecuali Wresaba.
Setelah pasukan putra Subala kacau balau, Duryodana mengirim
raksasa Alambusa untuk membunuh Irawan. Kemudian,
terjadilah pertempuran sengit antara Irawan melawan Alambusa. Keduanya
sama-sama menggunakan kekuatan sihir, sama-sama sakti dan saling menghancurkan.
Saat Irawan memunculkan seekor naga raksasa, Alambusa menanggapinya dengan
menjelma menjadi seekor burung garuda raksasa.
Burung siluman tersebut berhasil membunuh naga siluman yang dipanggil Irawan.
Hal itu membuat Irawan terpaku menyaksikan kekalahannya. Pada saat itu juga,
Alambusa memanfaatkan kesempatan tersebut untuk memenggal leher Irawan.
Pada hari kesembilan, Abimanyu putra Arjuna menghancurkan
laskar Korawa sambil mengamuk. Para kesatria terkemuka di pihak Korawa tidak
mampu menghadapinya, karena seolah-olah Abimanyu merupakan Arjuna yang kedua.
Melihat prajuritnya tercerai-berai, Duryodana memutuskan
untuk mengirim raksasa Alambusa,
putra Resyasringga. Raksasa tersebut menuruti perintah Duryodana. Ribuan
prajurit Pandawa mati di tangannya, sehingga lima putra Dropadi bertindak.
Mereka mencoba menahan serangan raksasa tersebut, namun tidak berhasil.
Sebaliknya, justru nyawa mereka yang terancam. Setelah melihat para saudara
tirinya sedang terancam, Abimanyu segera datang membantu mereka sekaligus
menghadapi raksasa Alambusa. Tak lama kemudian, terjadilah pertempuran sengit
antara Abimanyu melawan raksasa Alambusa. Dengan kemahirannya menggunakan
senjata panah, Abimanyu berhasil mengalahkan Alambusa sehingga raksasa tersebut
turun dari keretanya sambil melarikan diri karena kesakitan.
Setelah Alambusa mengalami kekalahan, Bisma segera menghadapi Abimanyu. Dengan
dikawal oleh para kesatria tangguh dari pihak Korawa, Bisma maju menerjang
Abimanyu. Pada saat itu juga, Arjuna datang membantu Abimanyu. Kemudian Krepa menyerang Arjuna sehingga terjadilah
pertarungan sengit di antara mereka. melihat keadaan tersebut, Satyaki datang
membantu Arjuna. Aswatama putra Drona,
datang membantu Krepa dengan meluncurkan panah-panahnya. Namun ternyata Satyaki
mampu bertahan, bahkan membalas serangan Aswatama secara bertubi-tubi. Setelah
Aswatama lelah menghadapinya, Drona muncul untuk membantu putranya tersebut.
Sedangkan dari pihak Pandawa, Arjuna maju membantu Satyaki. Tak lama kemudian,
terjadilah pertempuran sengit antara Arjuna melawan Drona. Meskipun demikian,
baik Arjuna maupun Drona mampu bertahan hidup sebab mereka sama-sama sakti.
Kemudian, Kresna mengingatkan
Arjuna untuk segera membunuh Bisma. Maka dari itu, Arjuna segera memerintahkan
Kresna untuk menjalankan keretanya menuju Bisma. Saat menghadapi Bisma, Arjuna
masih segan untuk mengerahkan seluruh kemampuannya, sehingga pertarungan
terlihat tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Melihat keadaan itu, Kresna
menjadi marah. Ia turun dari keretanya sambil membawa cemeti dengan tujuan
membunuh Bisma. Bisma tidak mengelak saat melihat tindakan Kresna. Sebaliknya,
ia ikhlas apabila nyawanya melayang di tangan Kresna. Menanggapi hal tersebut,
Arjuna segera meloncat dari keretanya, lalu memeluk kaki Kresna untuk
menghentikan gerakan Kresna. Sekali lagi, Arjuna memohon agar Kresna meredam
amarahnya. Kresna hanya diam setelah mendengar permohonan Arjuna. Kemudian
mereka kembali menaiki kereta untuk melanjutkan peperangan.
Lukisan Bisma yang
tidur di ranjang panah menjelang kematiannya. Sebuah koleksi dariInstitusi
Smithsonian.
Lukisan Bisma saat
sekarat, sedang berbaring dengan tubuh ditancapi ratusan panah. Lukisan diambil
dari kitabRazmnama, atau Mahabharata versiPersia.
Pada hari kesepuluh, Pandawa yang
merasa tidak mungkin untuk mengalahkan Bisma menyusun suatu strategi. Mereka
berencana untuk menempatkan Srikandi di
depan kereta Arjuna, sementara Arjuna sendiri akan menyerang Bisma dari belakang Srikandi. Srikandi
dipilih sebagai tameng Arjuna sebab ia merupakan seorang wanita yang berganti
kelamin menjadi pria, dan hal itu membuat Bisma enggan menyerang Srikandi.
Disamping itu, Srikandi merupakan reinkarnasi Amba,
wanita yang mati karena perasaannya disakiti oleh Bisma, dan bersumpah akan
terlahir kembali sebagai pembunuh Bisma yang menjadi penyebab atas penderitaannya.
Srikandi menyerang Bisma, namun Bisma tidak
menghiraukan serangannya. Sebaliknya, ia malah tertawa, sebab ia tahu bahwa
kehadiran Srikandi merupakan pertanda buruk yang mampu mengantarnya menuju
takdir kekalahan. Bisma juga tahu bahwa ia ditakdirkan gugur karena Srikandi,
maka dari itu ia merasa sia-sia untuk melawan takdirnya. Bisma yang tidak tega
untuk menyerang Srikandi, tidak bisa menyerang Arjuna karena tubuh Srikandi
menghalanginya. Hal itu dimanfaatkan Arjuna untuk mehujani Bisma dengan ribuan
panah yang mampu menembus baju zirahnya. Ratusan panah yang ditembakkan
Arjuna menembus tubuh Bisma dan menancap di dagingnya.
Bisma terjatuh dari keretanya, namun
badannya tidak menyentuh tanah karena ditopang oleh panah-panah yang menancap
di tubuhnya. Setelah Bisma jatuh, pasukan Pandawa dan Korawa menghentikan
pertarungannya sejenak lalu mengelilingi Bisma. Bisma menyuruh Arjuna untuk
meletakkan tiga anak panah di bawah kepalanya sebagai bantal. Kemudian, Bisma
meminta dibawakan air. Tanpa ragu, Arjuna menembakkan panahnya ke tanah, lalu
menyemburlah air dari tanah ke mulut Bisma. Meskipun tubuhnya ditancapi ratusan
panah, Bisma masih mampu bertahan hidup sebab ia diberi anugrah untuk bisa
menentukan waktu kematiannya sendiri. Dalam keadaan seperti itu, ia memberi
wejangan kepada para cucunya yang melakukan peperangan. Meskipun sudah tak
berdaya, Bisma mampu hidup selama beberapa hari sambil menyaksikan kehancuran
pasukan Korawa.
Setelah kekalahan Bisma pada hari
kesepuluh, Karna memasuki medan laga dan melegakan hati Duryodana. Ia mengangkat Dronasebagai
panglima tertinggi pasukan Korawa. Karna dan Duryodana berencana untuk
menangkap Yudistira hidup-hidup.
Membunuh Yudistira di medan laga hanya membuat para Pandawa semakin marah,
sedangkan dengan adanya Yudistira para Pandawa mendapatkan strategi perang.
Drona membantu Karna dan Duryodana untuk menaklukkan Yudistira. Ia memanah
busur Yudistira hingga patah. Para Pandawa cemas karena Yudistira akan menjadi
tawanan perang. Melihat hal itu, Arjuna turun
tangan dan menghujani Drona dengan panah dan menggagalkan rencana Duryodana.
Setelah menerima kegagalan, Drona yakin bahwa rencana untuk menaklukkan
Yudistira sulit diwujudkan selama Arjuna masih ada. Raja Trigarta —
Susarma — bersama dengan 3 saudaranya dan 35 putera mereka berada di pihak
Korawa dan mencoba untuk membunuh Arjuna atau sebaliknya, gugur di tangan
Arjuna. Mereka turun ke medan laga pada hari kedua belas dan langsung menyerbu
Arjuna. Namun mereka tidak berhasil sehingga gugur satu persatu. Semakin hari
kekuatan para Pandawa semakin bertambah dan memberikan pukulan yang besar
kepada pasukan Korawa.
Duryodana memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha (di zaman sekarang disebut Assam,
sebuah wilayah di India).
Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja yang dibunuh oleh Kresna beberapa
tahun sebelumnya. Bhagadatta memiliki ribuan gajah yang berukuran sangat besar
sebagai kekuatan pasukannya, dan ia dianggap sebagai kesatria terkuat di antara
seluruh kesatria penunggang gajah pada zamannya. Bhagadatta menyerang
Arjuna dengan mengendarai gajah raksasanya yang bernama Supratika. Pertempuran
antara Arjuna melawan Bhagadatta terjadi dengan sangat sengit.
Saat Arjuna sibuk dalam pertarungan yang
sengit, di tempat lain, empat Pandawa sulit
mematahkan formasi Cakrabyuha yang
disusun Drona. Yudistira melihat
hal tersebut dan menyuruh Abimanyu, putera Arjuna, untuk merusak formasi
Cakrabyuha, sebab Yudistira tahu bahwa hanya Arjuna dan Abimanyu yang bisa
mematahkan formasi tersebut. Saat Abimanyu memasuki formasi tersebut, empat
Pandawa melindunginya di belakang. Namun, keempat Pandawa dihadang Jayadrata sehingga
Abimanyu memasuki formasuki Cakrabyuha tanpa perlindungan. Akhirnya, Abimanyu
dikepung oleh para kesatria Korawa, lalu terbunuh oleh serangan serentak.
Menjelang akhir hari kedua belas, setelah
melalui pertarungan yang sengit, akhirnya Bhagadatta dan Susarma gugur di
tangan Arjuna. Sementara itu, Abimanyu gugur karena terjebak dalam formasi Cakrabyuha. Setelah mengetahui kematian
putranya, Arjuna marah pada Jayadrata yang menghalangi usaha para Pandawa untuk
melindungi Abimanyu. Ia bersumpah akan membunuh Jayadrata pada hari keempat
belas. Ia juga bersumpah bahwa jika ia tidak berhasil melakukannya sampai
matahari terbenam, ia akan membakar dirinya sendiri.
Saat berusaha mencari Jayadrata di medan
pertempuran, Arjuna menghancurkan satu aksauhini (109.350 tentara) prajurit Korawa.
Pasukan Korawa melindungi Jayadratadengan baik, untuk mencegah Arjuna
menyerangnya. Akhirnya, menjelang sore, Arjuna mendapati bahwa Jayadrata
dikawal oleh Karna dan lima kesatria perkasa lainnya.
Setelah melihat keadaan temannya, Kresna mengangkat Sudarsana Cakra-nya untuk menutupi matahari,
menipu seolah-olah matahari terbenam. Seluruh prajurit menghantikan pertempuran
karena merasa bahwa siang hari telah berakhir. Dengan demikian, Jayadrata tanpa
perlindungan. Saat matahari menampakkan sinar terakhirnya di hari tersebut,
Arjuna menembakkan panah dahsyatnya yang kemudian memenggal kepala Jayadrata.
Pertempuran berlanjut setelah matahari
terbenam. Saat bulan tampak bersinar, Gatotkaca, putra Bima membunuh banyak kesatria, dan
menyerang lewat udara. Karna menghadapinya lalu mereka bertarung dengan sengit,
sampai akhirnya Karna mengeluarkan Indrastra, sebuah senjata surgawi yang
diberikan kepadanya oleh Dewa Indra.
Gatotkaca yang menerima serangan tersebut lalu memperbesar ukuran tubuhnya. Ia
gugur seketika kemudian jatuh menimpa ribuan prajurit Korawa.
Sebuah lukisan dari Himachal Pradesh, India.
Di sini digambarkan Arjuna dan pasukannya (kiri) menghadapi Karna dan
pasukannya (kanan).
Setelah Raja Drupada dan
Raja Wirata dibunuh
oleh Drona, Bima dan Drestadyumna bertarung
dengannya di hari kelima belas. Karena Drona amat kuat dan memiliki brahamastra
(senjata ilahi) yang tak terkalahkan, Kresna memberi isyarat pada Yudistira
bahwa Drona akan menyerah apabila Aswatama –
putranya – gugur dalam perang tersebut. Kemudian Bima membunuh seekor gajah
bernama Aswatama, dan berteriak dengan keras bahwa Aswatama gugur.
Drona mendekati Yudistira untuk
mencari kepastian tentang kematian putranya. Yudistira berkata "Ashwathama Hatha
Kunjara", namun dua kata terakhir "Hatha
Kunjara" yang menerangkan
bahwa seekor gajah telah mati, tidak terdengar karena kegaduhan bunyi genderang
dan terompet atas perintah Kresna (versi yang berbeda menyebutkan bahwa
Yudistira melafalkan kata-kata terakhir tersebut dengan sangat pelan sehingga
Drona tidak mendengar kata "gajah"). Sebelum peristiwa tersebut,
kereta perang Yudistira, yang disebut Dharmaraja (Raja Kebenaran), melayang beberapa
inci dari tanah. Setelah peristiwa tersebut, keretanya menyentuh tanah. Setelah
menduga bahwa putranya telah tiada, Drona merasa berdukacita, dan menjatuhkan
senjatanya. Kemudian ia dibunuh oleh Drestadyumna untuk
membalaskan dendam ayahnya sekaligus melaksanakan sumpahnya.
Ilustrasi pertarungan
sengit antara Arjuna melawan Karna.
Pada hari keenam belas, Karna menjadi panglima tertinggi pasukan
Korawa. Ia membunuh banyak prajurit pada hari itu. Sebuah pertempuran sengit
terjadi antara Arjuna melawan Karna. Bahkan Kresna memuji
Karna atas keberaniannya. Akhirnya Karna berhasil memutuskan tali busur Arjuna.
Tepat saat Karna akan membunuh Arjuna, matahari terbenam. Karena memperhatikan
peraturan peperangan, Karna mengampuni nyawa Arjuna.
Ada versi berbeda mengenai akhir hari
kedelapan belas. Diceritakan bahwa Karna bertempur dengan gagah berani meski
dikelilingi para jendral pasukan Pandawa. Mereka semua tidak mampu melawannya.
Karna memberi serangan mematikan pada pasukan Pandawa sehingga mereka melarikan
diri. Kemudian Arjuna berhasil mematahkan senjata Karna dengan senjatanya sendiri,
dan juga memberikan serangan mematikan pada pasukan Korawa. Tak lama kemudian
matahari terbenam, dan karena kegelapan dan debu membuat pertempuran
berlangsung dengan sulit, maka pasukan Korawa ditarik mundur, dengan tujuan
menghindari pertempuran di malam hari. [4]
Peristiwa ini terjadi sesaat menjelang
kematiannya di tangan Arjuna.]] Pada hari ketujuh belas, Karna mengalahkan Bima danYudistira dalam
pertempuran, namun nyawa mereka diampuni. Kemudian, Karna melanjutkan
pertarungannya melawan Arjuna. Saat bertarung, roda kereta Karna terperosok ke
dalam lumpur sehingga Karna meminta izin untuk menghentikan pertarungan
sejenak. Melihat kesempatan tersebut, Kresna mengingatkan
Arjuna tentang sikap Karna yang tidak berbelas kasihan pada Abimanyu saat
Abimanyu terbunuh setelah kehilangan senjata dan keretanya. Terungkitnya
kenangan pahit tersebut membuat hati Arjuna perih kembali. Kemudian, Arjuna
menembakkan panahnya untuk memenggal Karna, pada saat Karna berusaha mengangkat
roda keretanya yang terprosok ke dalam lumpur. Pada hari yang sama, Bima
menghancurkan kereta Dursasana dengan
gadanya. Bima menangkap Dursasana lalu membunuhnya, sehingga terpenuhilah
sumpah yang dibuatnya saat Dropadi dipermalukan.
Pada hari kedelapan belas, Salya Raja Madra diangkat
sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa, menggantikan posisi Karna.
Pada hari itu juga, Yudistira membunuh
RajaSalya, Sadewa membunuh Sangkuni, dan Bima membunuh para adik Duryodana yang
masih bertahan. Setelah sadar bahwa ia telah dikalahkan, Duryodana lari
dari medan pertempuran lalu beristirahat di sebuah danau. Ahirnya para Pandawa
berhasil menangkapnya. Di bawah pengawasan Baladewa, pertandingan gada berlangsung antara
Bima melawan Duryodana, dimana akhirnya Duryodana mengalami kekalahan.
Aswatama, Krepa,
dan Kertawarma bertemu Duryodana pada
saat kesatria tersebut sedang sekarat. Mereka berjanji akan membalaskan
dendamnya. Kemudian pada malam hari, mereka menyerang perkemahan para Pandawa,
lalu membunuh lima putra Pandawa (Pancawala), Drestadyumna dan Srikandi.
Hanya sepuluh kesatria yang bertahan hidup
dari pertempuran, mereka adalah: Lima Pandawa, Yuyutsu, Satyaki, Aswatama, Krepa dan Kertawarma. Aswatama ditangkap oleh para
Pandawa setelah ia melakukan pembunuhan di malam hari kedelapan belas, saat
sekutu Pandawa sedang tidur. Krepa kembali ke Hastinapura, sedangkan Kertawarma
ke kediaman Wangsa Yadu. Akhirnya, Yudistira dinobatkan sebagai Raja Hastinapura. Setelah memerintah selama
beberapa lama, Yudistira menyerahkan tahta kepada cucu Arjuna, Parikesit. Kemudian, ia bersama Pandawa dan Dropadi mendaki
gunung Himalaya sebagai
tujuan akhir perjalanan mereka. Dropadi dan empat Pandawa, kecuali Yudistira,
meninggal dalam perjalanan. Akhirnya Yudistira berhasil mencapai puncak
Himalaya, dan dengan ketulusan hatinya, oleh anugerah Dewa Dharma ia
diizinkan masuksurga sebagai
seorang manusia.
Para sarjana berusaha mencari tahu pada
tahun berapa sebenarnya perang di Kurukshetra terjadi. Mereka menggunakan
catatan dalam Mahābhārata, memperhitungkan posisi benda langit, menggunakan
sistem kalender, bahkan sampai melakukan analisis radiokarbon. Hasil
perhitungan mereka sebagai berikut[5]:
·
Dr. S. Balakrishna menyatakan bahwa perang
tersebut terjadi tahun 2559 SM dengan memperhitungkan gerhana bulan.
·
Prof. I.N. Iyengar memperkirakan perang
tersebut terjadi tahun 1478 SM dengan memperhitungkan gerhana dan garis lurus
planet Saturnus+Jupiter.
·
Dr. B.N. Achar menyatakan bahwa perang
tersebut terjadi tahun 3067 SM dengan memperhitungkan posisi planet-planet yang
dicantumkan dalam Mahabharata.
·
Shri P.V. Holey yakin bahwa perang tersebut
terjadi tanggal 13 November tahun 3143 SM dengan memperhitungkan posisi planet
dan sistem kalender.
·
Dr. P.V.Vartak mengatakan bahwa perang
tersebut terjadi tanggal 16 Oktober tahun 5561 SM dengan memperhitungkan posisi
planet.[6]
Beberapa sarjana memperkirakan usia perang
di Kurukshetra tidak setua yang diperkirakan oleh sarjana di atas. John L
Brockington memperkirakan perang tersebut sangat mungkin terjadi 900 SM.[7] Pertempuran Sepuluh Raja, pertempuran antara
Raja Bharata bernama Sudas dan perserikatan sepuluh suku yang
muncul dalam Rgveda, dipercaya sebagai asal mula mitologi perang di
Kurukshetra terjadi.[8] Beberapa
arkeolog India mencoba mencari tahu kapan sebenarnya perang di Kurukshetra
terjadi, seperti penelitian belanga yang ditemukan di Ganges. Penelitian radiokarbon
menunjukkan artifak tersebut berasal dari periode 800 - 350 SM[9].