REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab
“Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92)
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seseorang tidak disebut mukmin selama belum mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah).
Ayat dan hadis tersebut menunjukkan urgensi energi cinta berbagi sebagai spirit kebajikan dan keluhuran akhlak. Energi cinta berbagi dalam diri manusia perlu dididik dan diaktualisasikan dalam bentuk kedermawanan sosial.
“Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92)
Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seseorang tidak disebut mukmin selama belum mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah).
Ayat dan hadis tersebut menunjukkan urgensi energi cinta berbagi sebagai spirit kebajikan dan keluhuran akhlak. Energi cinta berbagi dalam diri manusia perlu dididik dan diaktualisasikan dalam bentuk kedermawanan sosial.
Etos filantropi
untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama memang harus dilandasi rasa
cinta. Karena cinta menyemangati dan menggerakkan manusia untuk mewujudkan
cita-cita mulia.
Kedermawanan sosial berbasis cinta (filantropi) merupakan akhlak mulia, karena etos cinta berbagi dan berderma dalam Islam intinya adalah memberi dan memberi (give more and more) rezeki Allah yang dikaruniakan kepada kita dengan semangat menyayangi dan memberdayakan sesama. Ingatlah bahwa “Tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (peminta).” (HR Muslim).
Jadi, esensi cinta sejati, dalam segala hal, mulai dari cinta anak dan istri, cinta berbagi kepada sesama hingga cinta Ilahi, adalah memberi dan mendedikasikan diri. Pendidikan cinta berbagi telah dipelopori dan diteladankan Nabi Muhammad SAW dan istri beliau tercinta, Khadijah RA.
Sedemikian cintanya kepada Islam, Khadijah RA mendermakan hampir seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah dan kejayaan Islam. Para sahabat juga selalu dididik oleh Nabi SAW untuk gemar berderma dengan menyisihkan sebagian rezeki sebagai bukti cinta terhadap Islam, sekaligus sebagai sikap peduli terhadap sesama.
Sejarah membuktikan, tradisi tersebut menjadi solusi jitu dalam mengatasi masalah umat, terutama kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Pendidikan cinta berbagi termasuk ajaran Islam yang paling dini diperkenalkan Nabi Muhammad SAW setelah pendidikan iman.
Pendidikan ini ditanamkan Nabi SAW dengan menjauhkan diri dari sikap pamrih, sebab pamrih hanya akan menghilangkan nilai sedekah sekaligus menyuburkan penyakit riya’. Oleh karena itu, pada masa awal kerasulannya, Allah SWT dengan tegas menyatakan, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir [74]: 6).
Larangan ini juga sekaligus mendidik Nabi SAW dan para sahabatnya untuk mandiri dalam membangun sistem ekonomi umat yang solid, kuat,dan menyejahterakan semua, sehingga tidak tergantung pada sistem ekonomi kapitalistik dan individualistik ala kafir Quraisy Makkah.
Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, krisis sembako, dan sebagainya.
Zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial dapat terwujud dengan sangat indah. “Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-Taghabun [64]: 16).
Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan, kemunduran, dan kebodohan. Gagasan pendirian Baitul Mal oleh Umar bin al-Khattab merupakan upaya institusionalisasi filantropi dengan menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan kekayaan dari, oleh, dan untuk kemaslahatan umat.
Baitul Hikmah dan Universitas al-Azhar di Mesir, misalnya, didirikan, dikembangkan, dan dibesarkan oleh donasi filantropi sebagai manifestasi pendidikan cinta berbagi.
Umat Islam
sesungguhnya tidak akan pernah miskin jika energi cinta berbagi dalam rangka
aktualisasi kedermawanan sosial umat dapat diidentifikasi, didata, dikelola,
dikembangkan, dioptimalkan, dan dimanfaatkan dengan penuh amanah dan manajemen
modern.Kedermawanan sosial berbasis cinta (filantropi) merupakan akhlak mulia, karena etos cinta berbagi dan berderma dalam Islam intinya adalah memberi dan memberi (give more and more) rezeki Allah yang dikaruniakan kepada kita dengan semangat menyayangi dan memberdayakan sesama. Ingatlah bahwa “Tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (peminta).” (HR Muslim).
Jadi, esensi cinta sejati, dalam segala hal, mulai dari cinta anak dan istri, cinta berbagi kepada sesama hingga cinta Ilahi, adalah memberi dan mendedikasikan diri. Pendidikan cinta berbagi telah dipelopori dan diteladankan Nabi Muhammad SAW dan istri beliau tercinta, Khadijah RA.
Sedemikian cintanya kepada Islam, Khadijah RA mendermakan hampir seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah dan kejayaan Islam. Para sahabat juga selalu dididik oleh Nabi SAW untuk gemar berderma dengan menyisihkan sebagian rezeki sebagai bukti cinta terhadap Islam, sekaligus sebagai sikap peduli terhadap sesama.
Sejarah membuktikan, tradisi tersebut menjadi solusi jitu dalam mengatasi masalah umat, terutama kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Pendidikan cinta berbagi termasuk ajaran Islam yang paling dini diperkenalkan Nabi Muhammad SAW setelah pendidikan iman.
Pendidikan ini ditanamkan Nabi SAW dengan menjauhkan diri dari sikap pamrih, sebab pamrih hanya akan menghilangkan nilai sedekah sekaligus menyuburkan penyakit riya’. Oleh karena itu, pada masa awal kerasulannya, Allah SWT dengan tegas menyatakan, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir [74]: 6).
Larangan ini juga sekaligus mendidik Nabi SAW dan para sahabatnya untuk mandiri dalam membangun sistem ekonomi umat yang solid, kuat,dan menyejahterakan semua, sehingga tidak tergantung pada sistem ekonomi kapitalistik dan individualistik ala kafir Quraisy Makkah.
Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, krisis sembako, dan sebagainya.
Zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial dapat terwujud dengan sangat indah. “Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-Taghabun [64]: 16).
Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan, kemunduran, dan kebodohan. Gagasan pendirian Baitul Mal oleh Umar bin al-Khattab merupakan upaya institusionalisasi filantropi dengan menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan kekayaan dari, oleh, dan untuk kemaslahatan umat.
Baitul Hikmah dan Universitas al-Azhar di Mesir, misalnya, didirikan, dikembangkan, dan dibesarkan oleh donasi filantropi sebagai manifestasi pendidikan cinta berbagi.