Oleh: M Rizal Fadillah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang teman pejabat pemda mendapat informasi akan dipromosikan untuk memimpin dinas yang dikenal “basah”. Ketika disampaikan kepada keluarganya, ternyata istrinya berkeberatan. Dengan baik-baik katanya sang istri mengemukakan kekhawatiran dirinya kalau-kalau sang suami tidak tahan menghadapi godaan jabatan. 

Awalnya teman ini bersikukuh untuk menerima jabatan yang diperkirakan dapat meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Namun, kegigihan sang istri juga luar biasa. Dengan berat hati, ia pun mengikuti saran istrinya yang memang menjadi aktivis pengajian majelis taklim ibu-ibu. 

Apa yang dikhawatirkan ternyata terbukti. Menurut penuturannya, setahun kemudian rekannya yang menjabat di dinas tersebut mengahadapi persoalan serius. Dugaan penyimpangan hukum tindak pidana korupsi. 

Teman ini kini membenarkan apa yang pernah dicegah oleh istrinya. Berandai-andai tentang kemungkinan hal sama yang akan menimpa dirinya jika ia pun menjabat di sana. Ia sangat bersyukur.

Suami merupakan kepala keluarga yang memimpin rumah tangga menuju keselamatan dan kesejahteraan hidup. Kekuasaan suami menurut agama juga cukup besar, keridhaan Allah ada pada izin suami, taat dan patuh pada suami termasuk kemuliaan istri. 

Tentu saja kekuasaan itu dijalankan untuk hal-hal yang baik dan maslahat. Akan tetapi, dalam hal sebaliknya, yakni perilaku suami kurang bagus, berbuat dosa, serta mencari rezeki yang tidak halal dan membahayakan keberkahan anak dan istrinya, sang istri bisa menjadi kekuatan pencegah dan penangkal. 

Di samping doa yang dipanjatkan, upaya dalam bentuk kata dan perbuatan bisa mencegah kemungkaran. Sebenarnya, suami dan istri itu mitra yang “saling memimpin” dan “saling menolong” sebagaimana Firman Allah dalam QS at-Taubah [9]: 71, “ Dan orang-orang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian lainnya. Mereka (sama-sama) menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka (sama-sama) mendapat kasih sayang dari Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.  

Sama dengan status suami, istri berfungsi juga sebagai pemimpin dan penolong suami, bermitra dalam beramar makruf nahi munkar, berkewajiban sama untuk beribadah kepada Allah. Lalu jaminan Allah, baik istri maupun suami yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya keduanya berhak atas rahmat dan kasih sayang Allah SWT. 

Ini merupakan hakikat asas kesetaraan gender dalam makna agama. Hal itu termasuk ketetapan dari Allah yang Mahabijaksana. Sebaliknya, jika suami tetap dalam posisi yang memaksa, menggunakan kedudukannya untuk berbuat durhaka, serta mengabaikan ajaran agama, istri berkewajiban untuk mengingatkan dan meluruskan. 

Di samping kekuatan autoritatif yang dimiliki suami, nyatanya ada titik-titik lemah yang hanya diketahui oleh sang istri. Istri yang cerdas dan kuat beragama akan mampu mengarahkan langkah ke arah keselamatan bersama.

Masalahnya jika upaya mencegah tidak mendapatkan hasil dan keberhalaan menguasai prinsip hidup suami, istri tak perlu kecil hati. Ada contoh ketidakberdayaan yang berakibat pada kemuliaan, yakni teladan dari Asiah binti Muzahim, istri Fir’aun. 

Doa Asiah cukup mewakili kehebatan dirinya itu, “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim” (QS at-Tahrim [66]:11).  

Asiah adalah permaisuri, istri raja yang memilih hidup yang jelas dan terang di tengah gelapnya jalan hidup suami. Pantaslah jika Rasulullah SAW memuji Asiah di samping Khadijah, Fatimah, Maryam sebagai orang yang paling berbahagia di dunia dan akhirat. Maka, berbahagialah istri yang mencegah suami ke jalan kemungkaran.
Oleh: Rohani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan Rabiul Awal kini telah mendatangi umat Islam yang senantiasa mengisinya dengan memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Muhammad merupakan nama Nabi Agung yang telah menyelamatkan dan menyempurnakan agama-agama yang pernah disampaikan para nabi sebelumnya dalam satu agama yang dikemas dengan nama Islam untuk dijadikan satu-satunya agama yang diterima dan diridhai Allah swt. 

Muhammad artinya orang yang dipuji. Nama ini benar-benar telah menjadi nyata dan terukir dalam sejarah. Dan Allah swt mengakui dan mengumumkan kepada dunia dengan firman-Nya, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki Akhlak yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 5)

Tujuan Allah SWT mengutus Rasulullah kepada umat manusia semuanya agar mereka menjadikan teladan dan mengikuti Nabi SAW sehingga para manusia mendapatkan berkahnya dan menjadi Muhammad-Muhammad kecil yang bertebaran di muka bumi ini. Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan Hari Akhir serta yang banyak mengingat Allah (QS al-Ahzab [33]: 22).

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, kemudian Allah pun akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, MahaPenyayang (QS Ali Imran [3]: 32)

Dikemukakannya beberapa contoh akhlak yang mulia Sayyidina Almusthofa, Muhammad SAW, agar kita mengetahui dan mencontohnya dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Sejarah menjadi saksi bahwa semua kaum di Arab sepakat memberikan gelar kepada Muhammad SAW “Al-Amin”. Artinya orang yang terpercaya, padahal waktu itu beliau belum dinyatakan sebagai Nabi. 

Peristiwa ini belum pernah terjadi dalam sejarah Makkah dan budaya Arab. Hal itu menjadi bukti bahwa Rasulullah memiliki sifat itu dalam kadar begitu tinggi sehingga dalam pengetahuan dan ingatan kaumnya tidak ada orang lain yang dapat dipandang menyamai dalam hal itu. Kaum Arab terkenal dengan ketajaman otak mereka dan apa-apa yang mereka pandang langka, pastilah sungguh-sungguh langka lagi istimewa.

Diriwayatkan bahwa Muhammad SAW memerintahkan supaya lalu lintas umum tidak boleh dipergunakan sehingga menimbulkan halangan atau menjadi kotor atau melemparkan benda-benda yang najis atau tidak sedap dipandang ke jalan umum atau mengotori jalan dengan cara apa pun karena semua itu perbuatan yang tidak diridhai Tuhan. 

Beliau sangat memandang penting upaya agar persediaan air untuk keperluan manusia dijaga kebersihan dan kemurniannya. Umumnya, beliau melarang sesuatu benda dilemparkan ke dalam air tergenang yang mungkin akan mencemarinya dan memakai persediaan air dengan cara yang dapat menjadikannya kotor (Al-Bukhari dan Muslim, Kitabal-Barr wal-Sila)

Rasulullah mandiri dalam menerapkan keadilan dan perlakuan. Sekali peristiwa suatu perkara dihadapkan kepada beliau tatkala seorang bangsawan wanita terbukti telah melakukan pencurian. Hal itu menggemparkan karena jika hukuman yang berlaku dikenakan terhadap wanita muda usia itu, martabat suatu keluarga sangat terhormat akan jatuh dan terhina. 

Banyak yang ingin mendesak Rasulullah SAW menghukumnya demi kepentingan orang yang berdosa itu, tetapi tidak mempunyai keberanian. Maka, Usama diserahi tugas melaksanakan itu. Usama menghadap Rasulullah SAW, tetapi serentak beliau mengerti maksud tugasnya tersebut. beliau pun sangat marah dan bersabda, “Kamu sebaiknya menolak. Bangsa-bangsa telah celaka karena mengistimewakan orang-orang kelas tinggi, tetapi berlaku kejam terhadap rakyat jelata. Islam tidak mengizinkan dan aku pun sekali-kali tidak akan mengizinkan. Sungguh, jika Fathimah, anak perempuanku sendiri melakukan kejahatan, aku tidak akan segan-segan menjatuhkan hukuman yang adil “ (Al-Bukhari, Kitabul-Hudud)


Flag Counter

Recent Posts

Psy - Gangnam Style

Text Widget