Oleh: M Rizal
Fadillah
Awalnya teman ini bersikukuh untuk menerima jabatan yang diperkirakan dapat meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Namun, kegigihan sang istri juga luar biasa. Dengan berat hati, ia pun mengikuti saran istrinya yang memang menjadi aktivis pengajian majelis taklim ibu-ibu.
Apa yang dikhawatirkan ternyata terbukti. Menurut penuturannya, setahun kemudian rekannya yang menjabat di dinas tersebut mengahadapi persoalan serius. Dugaan penyimpangan hukum tindak pidana korupsi.
Teman ini kini membenarkan apa yang pernah dicegah oleh istrinya. Berandai-andai tentang kemungkinan hal sama yang akan menimpa dirinya jika ia pun menjabat di sana. Ia sangat bersyukur.
Suami merupakan kepala keluarga yang memimpin rumah tangga menuju keselamatan dan kesejahteraan hidup. Kekuasaan suami menurut agama juga cukup besar, keridhaan Allah ada pada izin suami, taat dan patuh pada suami termasuk kemuliaan istri.
Tentu saja kekuasaan itu dijalankan untuk hal-hal yang baik dan maslahat. Akan tetapi, dalam hal sebaliknya, yakni perilaku suami kurang bagus, berbuat dosa, serta mencari rezeki yang tidak halal dan membahayakan keberkahan anak dan istrinya, sang istri bisa menjadi kekuatan pencegah dan penangkal.
Di samping doa yang dipanjatkan, upaya dalam bentuk kata dan perbuatan bisa mencegah kemungkaran. Sebenarnya, suami dan istri itu mitra yang “saling memimpin” dan “saling menolong” sebagaimana Firman Allah dalam QS at-Taubah [9]: 71, “ Dan orang-orang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian lainnya. Mereka (sama-sama) menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka (sama-sama) mendapat kasih sayang dari Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.
Sama dengan status suami, istri berfungsi juga sebagai pemimpin dan penolong suami, bermitra dalam beramar makruf nahi munkar, berkewajiban sama untuk beribadah kepada Allah. Lalu jaminan Allah, baik istri maupun suami yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya keduanya berhak atas rahmat dan kasih sayang Allah SWT.
Ini merupakan hakikat asas kesetaraan gender dalam makna agama. Hal itu termasuk ketetapan dari Allah yang Mahabijaksana. Sebaliknya, jika suami tetap dalam posisi yang memaksa, menggunakan kedudukannya untuk berbuat durhaka, serta mengabaikan ajaran agama, istri berkewajiban untuk mengingatkan dan meluruskan.
Di samping kekuatan autoritatif yang dimiliki suami, nyatanya ada titik-titik lemah yang hanya diketahui oleh sang istri. Istri yang cerdas dan kuat beragama akan mampu mengarahkan langkah ke arah keselamatan bersama.
Masalahnya jika upaya mencegah tidak mendapatkan hasil dan keberhalaan menguasai prinsip hidup suami, istri tak perlu kecil hati. Ada contoh ketidakberdayaan yang berakibat pada kemuliaan, yakni teladan dari Asiah binti Muzahim, istri Fir’aun.
Doa Asiah cukup mewakili kehebatan dirinya itu, “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim” (QS at-Tahrim [66]:11).
Asiah adalah permaisuri, istri raja yang memilih hidup yang jelas dan terang di tengah gelapnya jalan hidup suami. Pantaslah jika Rasulullah SAW memuji Asiah di samping Khadijah, Fatimah, Maryam sebagai orang yang paling berbahagia di dunia dan akhirat. Maka, berbahagialah istri yang mencegah suami ke jalan kemungkaran.
ok..
ReplyDelete