Di antara 12 bulan dalam setahun, Allah telah memilih Ramadhan sebagai bulan kemuliaan yang penuh dengan keberkahan. Rasulullah SAW bersabda, "Telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkahan. Allah telah mewajibkan kalian untuk berpuasa." (HR Ahmad). Dan, pada Ramadhan, Allah telah memilih satu malam yang nilai kebaikannya melebihi 1.000 bulan. (QS al-Qadr: 3). 
Ramadhan disebut sebagai bulan berkah karena banyaknya kebaikan yang telah ditetapkan Allah di dalamnya. Berkah atau keberkahan berarti menetap (ast-tsubut), bertambah (az-ziyadah), atau berkembang (an-nama'a), yaitu kebaikan dari Allah SWT pada sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa harta, pekerjaan, usia, keluarga, anak, hari, bulan, tempat, dan atau kehidupan yang kita lalui. 
Keberkahan pada Ramadhan berarti nilai kebaikan di dalamnya terus bertambah dan berkembang serta mendatangkan kebermanfaatan bagi manusia beriman. Semua itu adalah bentuk rahmat Allah untuk seluruh insan. Seperti, Allah menetapkan Ramadhan sebagai bulan diturunkannya (permulaan) Alquran sebagai pedoman dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan (QS al-Baqarah: 185). 
Allah memilih semua hari pada Ramadhan untuk dipuasakan oleh orang-orang beriman agar meraih ketakwaan. (QS al-Baqarah: 183). Pada Ramadhan, pintu-pintu surga dibuka. Pintu-pintu neraka ditutup. Dan, setan-setan dibelenggu. (HR Muslim). 
Sungguh ironi. Jika pintu surga telah dibukakan Allah, tetapi kebaikan sebagai jalan mudah memasukinya masih saja enggan dikerjakan. Sungguh ironi. Jika pintu neraka telah ditutup, masih saja ingin membukanya dengan melakukan kemaksiatan. Sungguh bebal saat setan-setan dibelenggu pada Ramadhan agar peluang beramal kebaikan dengan banyak orang beriman dimudahkan, masih saja mencari peluang untuk melakukan kehinaan.
Begitu istimewa dan mulianya Ramadhan, sepantasnyalah Muslimin mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Karena, ada beberapa makna atau pesan dari kegiatan penyambutan (tarhib) Ramadhan itu. Pertama, kegiatan menyambut jelas menunjukkan suasana hati yang penuh harap dan bahagia. Begitulah seharusnya sikap seorang Muslim menjelang kedatangan Ramadhan. Maka, Rasulullah mengajarkan doa dan berdoa, "Ya Allah, antarkan diriku kepada Ramadhan dan antarkan Ramadhan kepada diriku serta terimalah (amalan-amalan) Ramadhan dariku." (HR Abu Dawud).
Kedua, dari sisi yang disambut, yakni Ramadhan, jelas mengindikasikan keistimewaan dan kemuliaan. Ketiga, adanya sikap menyambut menunjukkan komitmen dalam menyikapi Ramadhan. Orang yang tak berminat dengan Ramadhan tak peduli dengan kedatangan Ramadhan. Oleh sebab itu, penyambutan Ramadhan dimaknai sebagai motivasi diri, kesungguhan, kesiapan, dan azam yang kuat untuk kedatangan Ramadhan.
Nabi SAW sebagai teladan sebenarnya telah memberi contoh tuntunan. Di antaranya, Rasulullah jauh hari telah berdoa kepada Allah agar diberkahi pada Rajab, Sya'ban, dan disampaikan usia kepada Ramadhan. 
Istri beliau, Aisyah RA, juga mengabarkan, "Aku belum pernah melihat Rasulullah berpuasa sebelum penuh, kecuali pada Ramadhan. Dan, aku belum pernah melihat Rasulullah lebih banyak berpuasa, kecuali pada Sya'ban." (HR Bukhari). Itulah di antara bentuk komitmen dan persiapan diri Rasulullah menjelang Ramadhan. Semoga menjadi teladan. Wallahu a'lam. 
Sumber: REPUBLIKA.CO.ID, 
Oleh Lidus Yardi


Oleh Fauzi Bahresy
(Para istri) mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka (QS al-Baqarah: 187).
REPUBLIKA.CO.ID, Dalam ayat di atas, Allah SWT menggambarkan pernikahan serta hubungan interelasi antara suami dan istri sebagai pakaian. Hal ini menarik, karena gambaran tersebut mengandung makna yang sangat mendalam dan isyarat yang penting.
Di antaranya adalah, pertama, pakaian merupakan kebutuhan setiap manusia normal. Hanya manusia yang tidak normal atau berada dalam kondisi tertentu saja yang tidak mempergunakan pakaian. Demikian pula setiap manusia, bahkan seluruh makhluk membutuhkan keberadaan pasangan. 
Pria membutuhkan keberadaan wanita dan demikian pula sebaliknya. Hanya saja, kebutuhan tersebut harus disalurkan melalui pintu yang sah dan sarana yang halal. Karenanya Rasulullah SAW bersabda, ''Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah hendaknya menikah. Sebab, hal itu bisa membuat pandangan lebih terjaga dan kehormatan lebih terpelihara. Siapa yang tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa merupakan tameng (yang bisa menjaga dari maksiat).'' (HR Bukhari Muslim).
Kedua, pakaian berfungsi untuk menutupi aurat dan sekaligus melindungi tubuh dari cuaca panas atau dingin. Demikian pula dengan fungsi dan kedudukan suami istri. Masing-masing harus bisa menutupi dan melindungi pasangannya. Suami harus bisa menutupi aib dan kekurangan istri, dan istri pun harus bisa memahami dan menutupi kekurangan suami. 
Suami bukan malaikat yang tidak punya dosa dan istri juga bukan bidadari yang tidak punya salah. Sebagai manusia pastilah keduanya memiliki aib dan kekurangan. Di sinilah suami istri dituntut untuk siap menerima kekurangan pasangannya sekaligus bekerja sama untuk menutupi dan memperbaikinya. Allah befirman, ''Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan; jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.'' (QS al-Maidah: 2).
Ketiga, pakaian berfungsi sebagai hiasan bagi pemakainya. Karena itu, dalam hal ini suami istri harus bisa menjadi hiasan bagi masing-masing. Mereka harus bisa saling menyenangkan, menghibur, dan memberikan yang terbaik. Rasulullah SAW bersabda, ''Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik untuk istrinya. Dan, aku adalah orang yang paling baik untuk istriku.'' (HR at-Tirmidzi). 
Membuat pasangan senang dan terhibur bisa dilakukan lewat ucapan, perbuatan, ataupun penampilan. Dan, itulah yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Kalau para suami dan istri memahami kedudukan dan fungsi dirinya dalam keluarga secara baik sebagaimana yang disebutkan di atas, tentu keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah akan bisa digapai. Amin. 
Sumber : Pusat Data Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhbib Abdul Wahab 

Kamu sekali-kali tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu membelanjakan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran [3]: 92) 

Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Seseorang tidak disebut mukmin selama belum mencintai sesamanya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.” (HR al-Bukhari, Muslim, At-Turmudzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah). 

Ayat dan hadis tersebut menunjukkan urgensi energi cinta berbagi sebagai spirit kebajikan dan keluhuran akhlak. Energi cinta berbagi dalam diri manusia perlu dididik dan diaktualisasikan dalam bentuk kedermawanan sosial.
Etos filantropi untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama memang harus dilandasi rasa cinta. Karena cinta menyemangati dan menggerakkan manusia untuk mewujudkan cita-cita mulia. 

Kedermawanan sosial berbasis cinta (filantropi) merupakan akhlak mulia, karena etos cinta berbagi dan berderma dalam Islam intinya adalah memberi dan memberi (give more and more) rezeki Allah yang dikaruniakan kepada kita dengan semangat menyayangi dan memberdayakan sesama. Ingatlah bahwa “Tangan di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan di bawah (peminta).” (HR Muslim). 

Jadi, esensi cinta sejati, dalam segala hal, mulai dari cinta anak dan istri, cinta berbagi kepada sesama hingga cinta Ilahi, adalah memberi dan mendedikasikan diri. Pendidikan cinta berbagi telah dipelopori dan diteladankan Nabi Muhammad SAW dan istri beliau tercinta, Khadijah RA. 

Sedemikian cintanya kepada Islam, Khadijah RA mendermakan hampir seluruh hartanya untuk kepentingan dakwah dan kejayaan Islam. Para sahabat juga selalu dididik oleh Nabi SAW untuk gemar berderma dengan menyisihkan sebagian rezeki sebagai bukti cinta terhadap Islam, sekaligus sebagai sikap peduli terhadap sesama. 

Sejarah membuktikan, tradisi tersebut menjadi solusi jitu dalam mengatasi masalah umat, terutama kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Pendidikan cinta berbagi termasuk ajaran Islam yang paling dini diperkenalkan Nabi Muhammad SAW setelah pendidikan iman. 

Pendidikan ini ditanamkan Nabi SAW dengan menjauhkan diri dari sikap pamrih, sebab pamrih hanya akan menghilangkan nilai sedekah sekaligus menyuburkan penyakit riya’. Oleh karena itu, pada masa awal kerasulannya, Allah SWT dengan tegas menyatakan, “Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.” (QS al-Mudatstsir [74]: 6). 

Larangan ini juga sekaligus mendidik Nabi SAW dan para sahabatnya untuk mandiri dalam membangun sistem ekonomi umat yang solid, kuat,dan menyejahterakan semua, sehingga tidak tergantung pada sistem ekonomi kapitalistik dan individualistik ala kafir Quraisy Makkah. 

Keberhasilan pendidikan cinta berbagi yang ditanamkan Nabi SAW berdampak sangat positif bagi kemandirian ekonomi dan kewirausahaan umat, sehingga selama sepuluh tahun berada di Madinah tidak pernah ada krisis moneter, krisis pangan, kelaparan, gizi buruk, krisis sembako, dan sebagainya. 

Zakat, infak, sedekah, wakaf, dan hibah diatur dan diberdayagunakan sedemikian rupa, sehingga take and give, kebersamaan, kemitraan, dan keadilan sosial dapat terwujud dengan sangat indah. “Bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu; dengarlah dan taatilah; dan dermakanlah derma yang baik untuk dirimu. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS al-Taghabun [64]: 16). 

Dengan demikian, pendidikan cinta berbagi merupakan solusi jitu untuk mengatasi kemiskinan, kemunduran, dan kebodohan. Gagasan pendirian Baitul Mal oleh Umar bin al-Khattab merupakan upaya institusionalisasi filantropi dengan menghimpun, mengelola, dan mendistribusikan kekayaan dari, oleh, dan untuk kemaslahatan umat.

Baitul Hikmah dan Universitas al-Azhar di Mesir, misalnya, didirikan, dikembangkan, dan dibesarkan oleh donasi filantropi sebagai manifestasi pendidikan cinta berbagi.
Umat Islam sesungguhnya tidak akan pernah miskin jika energi cinta berbagi dalam rangka aktualisasi kedermawanan sosial umat dapat diidentifikasi, didata, dikelola, dikembangkan, dioptimalkan, dan dimanfaatkan dengan penuh amanah dan manajemen modern.


Oleh Muslimin
REPUBLIKA.CO.ID, Suatu ketika, seseorang melukai kepala seorang budak perempuan dengan batu sampai terluka. Kemudian salah seorang sahabat Nabi SAW menanyai budak wanita tersebut, siapa yang berbuat demikian kejam terhadapnya. Ketika disebutkan nama seseorang yang memukulinya. Wanita tersebut menganggukkan kepalanya. 
Kemudian, orang yang melukai budak wanita tersebut dihadapkan kepada Rasulullah, tetapi ia tidak mengakui perbuatannya sampai waktu yang cukup lama. Tetapi pada akhirnya, ia mengakui perbuatannya dan Rasulullah SAW memerintahkan sahabat untuk menghukum orang tersebut.  
Riwayat dari Anas RA di atas menunjukkan, betapa ajaran Islam sangat memuliakan wanita dengan menjadikannya manusia yang sama kedudukannya dengan laki-laki dalam setiap lini kehidupan, kecuali yang berhubungan dengan tugas, kewajiban, tanggung jawab, dan karier yang tidak sesuai dengan fitrahnya sebagai wanita.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Alquran, "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana," (QS. at-Taubah [91]: 71)
Islam memberikan kemuliaan dan penghargaan yang tinggi kepada kaum wanita. Sebagai contoh, Ummul Mukminin Aisyah RA banyak sekali meriwayatkan hadis yang disertai dengan penjelasannya. Aisyah sering berdiskusi dengan para sahabat Nabi SAW. Beliau juga termasuk yang menjadi salah satu sumber rujukan untuk memahami wahyu dan sunah Nabi.
Oleh karenanya, dalam Islam wanita juga memiliki kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk menuntut ilmu sepanjang hayat dikandung badan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap Muslim laki-laki maupun Muslim perempuan." (HR Ibnu Abdil Barr)
Terkait masalah ekonomi, seorang wanita berhak memiliki harta benda dan menafkahkannya sesuai dengan keinginannya. Tidak seorang pun berhak memaksanya untuk menafkahkan hartanya. Termasuk kerabat dekat dan suaminya sekalipun.
Termasuk memilih pendamping hidup, seorang wanita berhak menolak ketika akan dinikahkan oleh walinya apabila dilakukan tanpa seizinnya. Rasulullah SAW bersabda, "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Seorang perawan dimintakan izin darinya (ketika hendak dinikahkan), sedangkan pertanda izinnya adalah diamnya."
Begitulah Islam memposisikan sosok wanita, sebagai manusia yang sama kedudukannya dengan pria. Dia adalah sosok ibu, saudara perempuan, anak perempuan, dan istri yang harus dihormati dan dihargai keberadaannya. 
Sumber : Pusat Data Republika
Produk ini mempunyai komposisi yang sangat lengkap dan dibuat dengan standar kosmetika modern.
Cream Pemutih Wajah Aman

REPUBLIKA.CO.ID,Kisah ini terjadi pada diri Rasulullah SAW setelah  jatuh sakit yang cukup lama, sehingga Rasulullah SAW tidak dapat shalat berjamaah dengan para sahabatnya di masjid.
Dari buku Kisah Teladan Rasulullah Menghadirkan Jiwa Muraqabah Lewat Puasa disebutkan, pada suatu hari Rasulullah SAW meminta beberapa sahabat membawanya ke Masjid. Rasulullah di dudukkan atas mimbar, lalu Rasulullah meminta Bilal memanggil  semua para sahabat datang ke masjid.
Rasulullah SAW bersabda, "Wahai sahabat-sahabatku semua. Aku ingin bertanya, apakah telah aku sampaikan semua kepadamu, bahwa sesungguhnya Allah SWT itu adalah Tuhan yang layak disembah?"

Semua sahabat menjawab dengan suara bersemangat, " Benar wahai Rasulullah, Engkau telah sampaikan kepada kami bahwa sesungguhnya Allah SWT adalah Tuhan yang layak disembah.”

Kemudian Rasulullah SAW bersabda, "Persaksikanlah ya Allah. Sesungguhnya aku telah menyampaikan amanah ini kepada mereka."
Kemudian Rasulullah bersabda lagi, dan setiap apa yang Rasulullah sabdakan selalu dibenarkan oleh para sahabat.

Akhirnya sampailah kepada satu pertanyaan yang menjadikan para sahabat sedih dan terharu.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya, aku akan pergi bertemu Allah. Dan sebelum aku pergi, aku ingin menyelesaikan segala urusan dengan manusia. Maka aku ingin bertanya kepada kalian semua. Adakah aku berhutang dengan kalian? Aku ingin menyelesaikan hutang tersebut. Karena aku tidak mau jika bertemu dengan Allah dalam keadaan berhutang dengan manusia."

Ketika itu semua sahabat  diam, dan dalam hati masing-masing berkata,"Mana ada Rasullullah SAW berhutang dengan kita? Kamilah yang banyak berhutang dengan Rasulullah.”

Tiba-tiba bangun seorang lelaki yang bernama Akasyah. Lalu, dia berkata, "Ya Rasulullah! Aku ingin sampaikan masalah ini. Seandainya ini dianggap hutang, maka aku minta kau selesaikan. Seandainya bukan hutang, maka tidak perlulah engkau berbuat apa-apa.”
Maka Akasyah pun mulai bercerita, "Aku masih ingat ketika perang Uhud dulu, satu ketika engkau menunggang kuda, lalu Engkau pukulkan cemeti ke belakang kuda. Tetapi, cemeti tersebut tidak kena pada belakang kuda, sebenarnya cemeti itu terkena pada dadaku karena ketika itu aku berdiri di sebelah belakang kuda yang engkau tunggangi wahai Rasulullah.”

Mendengar yang demikian, Rasulullah SAW berkata, "Sesungguhnya itu adalah hutang wahai Akasyah. Kalau dulu aku pukul engkau, maka hari ini aku akan terima hal yang sama."
Dengan suara yang agak tinggi, Akasyah berkata, "Kalau begitu aku ingin segera melakukannya wahai Rasulullah."

Akasyah seakan-akan tidak merasa bersalah mengatakan demikian. Sedangkan ketika itu sebagian sahabat berteriak memarahi Akasyah.
"Sesungguhnya engkau tidak berperasaan wahai Akasyah. Bukankah Baginda sedang sakit?"

Akasyah tidak menghiraukan semua itu. Rasulullah SAW meminta Bilal mengambil cemeti di rumah Fatimah.
Setelah mengambil cemeti, Akasyah menuju ke hadapan Rasulullah.
Tiba-tiba, Abu Bakar berdiri menghalangi Akasyah sambil berkata, "Wahai Akasyah kalau kamu hendak memukul, pukullah aku. Aku orang yang pertama beriman dengan apa yang Rasulullah SAW sampaikan. Akulah temannya di kala suka dan duka. Kalau engkau hendak memukul, maka pukullah aku.”

Lalu dijawab oleh Rasulullah SAW, "Duduklah wahai Abu Bakar. Ini antara aku dengan Akasyah."
Akasyah menuju ke hadapan Rasulullah. Tiba-tiba, bangunlah kedua cucu kesayangan Rasulullah SAW, yaitu Hasan dan Husein. Mereka berdua merayu dan meronta.
"Wahai Paman, pukullah kami Paman. Kakek kami sedang sakit, pukullah kami wahai Paman. Sesungguhnya kami ini adalah cucu kesayangan Rasulullah, pukullah kami wahai Paman."

Begitu sampai di tangga mimbar, dengan tegasnya Akasyah berkata, "Bagaimana aku mau memukul engkau ya Rasulullah. Engkau duduk di atas dan aku di bawah. Kalau engkau mau aku pukul, maka turunlah ke bawah sini."

Rasulullah SAW memang manusia terbaik. Rasullah meminta beberapa sahabat memapahnya ke bawah. Rasulullah didudukkan pada sebuah kursi, lalu dengan suara tegas Akasyah berkata lagi:
"Dulu waktu engkau memukul aku, aku tidak memakai baju, Ya Rasulullah"

Tanpa berlama-lama dalam keadaan lemah, Rasulullah membuka bajunya. Kemudian terlihatlah tubuh Rasulullah yang sangat indah, sedang beberapa buah batu terikat di perut Rasulullah pertanda Rasulullah sedang menahan lapar.

Kemudian Rasulullah SAW berkata, "Wahai Akasyah, bersegeralah dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Nanti Allah akan murka padamu."

Akasyah terus menghampiri Rasulullah SAW, tangan yang memegang cemeti untuk dipukulkan ke tubuh Rasulullah SAW, rupanya dilempar cemeti itu sambil terus memeluk tubuh Rasulullah SAW seerat-eratnya.
Sambil berteriak menangis, Akasyah berkata, "Ya Rasulullah, ampunkanlah aku, maafkanlah aku, mana ada manusia yang sanggup menyakiti engkau ya Rasulullah. Sengaja aku melakukannya agar aku dapat merapatkan tubuhku dengan tubuhmu. Karena sesungguhnya aku tahu bahwa tubuhmu tidak akan dimakan oleh api neraka. Dan sesungguhnya aku takut dengan api neraka. Maafkanlah aku ya Rasulullah."

Rasulullah SAW dalam keadaan sakit berkata,"Wahai sahabat-sahabatku semua, kalau kalian ingin melihat ahli Syurga, maka lihatlah Akasyah."

Semua sahabat meneteskan air mata. Kemudian para sahabat bergantian memeluk Rasulullah SAW.
google

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Syamlan

Emas adalah logam istimewa. Dialah mata uang pertama dan mata uang yang sesungguhnya. Karena, dia bisa menjadi standar nilai suatu barang ataupun jasa secara konstan. Emas juga memiliki keistimewaan tak bisa berubah dan tak bisa berkarat. 

Itulah maka emas disebut sebagai logam mulia. Nabi SAW bersabda, “Perumpamaan orang mukmin (sejati) adalah seperti emas. Emas itu bila dibakar tak akan berkurang dan tak akan berubah.” (HR Baihaqi).

Dalam kehidupan ini banyak tantangan, ujian, dan cobaan. Orang bisa saja jatuh bangun diempas badai godaan dunia. Banyak orang yang pagi tampil sangat baik, sorenya bergelimang dosa dan kemaksiatan.
Sepanjang siang tampil sebagai sosok pemimpin yang berpidato berapi-api, malamnya bisa tenggelam dalam dekapan maut minuman keras, dansa, dan gelora syahwat.

Dulu dikenal sangat alim, ternyata kini menjadi zalim. Dulu dikenal sangat pemurah, sekarang berubah menjadi pemarah. Dulu dikenal rajin ke tempat ibadah, sekarang rajin ke tempat pesta wanita. Dulu dikenal pemalu, tapi kini berubah menjadi tak ada rasa malu.

Manusia mudah sekali berubah-ubah sesuai dengan tempat dan kondisi di mana dia berada. Saat berkumpul dengan orang-orang baik, dia bisa menjadi tiba-tiba baik. Saat berkumpul dengan orang-orang yang buruk, juga bisa tiba-tiba menjadi buruk.

Kondisi pun sering kali memengaruhi manusia. Ada orang yang ketika kaya rajin beribadah dan pandai bersyukur kepada Allah, ternyata suatu ketika diuji dengan kebangkrutan harta lalu jatuh menjadi papa, tak bisa bersabar hingga akhirnya tak mau lagi ibadah. 

Dan, ada yang sebaliknya. Ketika masih miskin sangat khusyuk berdoa dan rajin ke masjid, tapi tatkala kaya tak lagi bisa berdoa dan tak mau lagi ke masjid beralasan karena sibuk.

Manusia-manusia yang suka berubah-ubah seperti itu adalah manusia-manusia buruk, SDM yang berkualitas rendah. Orang yang bisa baik ketika kaya saja adalah buruk.
Orang yang bisa baik hanya di saat miskin juga buruk. Orang yang bisa baik hanya di saat berkumpul dengan orang-orang baik adalah buruk.

Manusia yang unggul adalah manusia yang kepribadiannya laksana emas, di kala sulit baik dan di kala mudah juga baik. Berkumpul dengan orang-orang yang baik dia baik dan berkumpul dengan orang-orang yang buruk dia tetap baik.

Seperti emas, tak pernah berkarat, tak pernah berubah meski dibakar, dan tak bisa menjadi kurang. Emas tetap emas, sekalipun jatuh di comberan atau tempat sampah. Itulah orang beriman sejati.
Bukan hanya beriman di mulut. Bukan beriman semata karena keturunan. Bukan juga beriman karena orang-orang semua mengaku beriman.

Orang yang benar-benar beriman adalah memiliki kepribadian yang kokoh. Ujian apa pun yang datang kepadanya tak pernah membuat ia berubah.
Dicaci atau dipuji tetap takkan menyurutkan langkahnya menegakkan kebenaran. Datang ujian jabatan atau kekayaan tak membuatnya lupa kepada Allah.

Bergumul di lingkungan para penyamun, ia pun tak ikut menjadi penyamun. Di manapun dan dalam kondisi apa pun dia tetap tegak berdiri, berbicara, bertindak dan berakhlak sebagai orang yang beriman. Yaitu, berbuat dan menebar kebaikan.

Tak peduli, kebaikan itu tumbuh dan diterima oleh orang banyak atau kering dan ditolak. “Sesungguhnya, kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (al-Insan: 9).
Oleh: M Rizal Fadillah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang teman pejabat pemda mendapat informasi akan dipromosikan untuk memimpin dinas yang dikenal “basah”. Ketika disampaikan kepada keluarganya, ternyata istrinya berkeberatan. Dengan baik-baik katanya sang istri mengemukakan kekhawatiran dirinya kalau-kalau sang suami tidak tahan menghadapi godaan jabatan. 

Awalnya teman ini bersikukuh untuk menerima jabatan yang diperkirakan dapat meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya. Namun, kegigihan sang istri juga luar biasa. Dengan berat hati, ia pun mengikuti saran istrinya yang memang menjadi aktivis pengajian majelis taklim ibu-ibu. 

Apa yang dikhawatirkan ternyata terbukti. Menurut penuturannya, setahun kemudian rekannya yang menjabat di dinas tersebut mengahadapi persoalan serius. Dugaan penyimpangan hukum tindak pidana korupsi. 

Teman ini kini membenarkan apa yang pernah dicegah oleh istrinya. Berandai-andai tentang kemungkinan hal sama yang akan menimpa dirinya jika ia pun menjabat di sana. Ia sangat bersyukur.

Suami merupakan kepala keluarga yang memimpin rumah tangga menuju keselamatan dan kesejahteraan hidup. Kekuasaan suami menurut agama juga cukup besar, keridhaan Allah ada pada izin suami, taat dan patuh pada suami termasuk kemuliaan istri. 

Tentu saja kekuasaan itu dijalankan untuk hal-hal yang baik dan maslahat. Akan tetapi, dalam hal sebaliknya, yakni perilaku suami kurang bagus, berbuat dosa, serta mencari rezeki yang tidak halal dan membahayakan keberkahan anak dan istrinya, sang istri bisa menjadi kekuatan pencegah dan penangkal. 

Di samping doa yang dipanjatkan, upaya dalam bentuk kata dan perbuatan bisa mencegah kemungkaran. Sebenarnya, suami dan istri itu mitra yang “saling memimpin” dan “saling menolong” sebagaimana Firman Allah dalam QS at-Taubah [9]: 71, “ Dan orang-orang beriman lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) penolong bagi sebagian lainnya. Mereka (sama-sama) menyuruh yang makruf dan mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka (sama-sama) mendapat kasih sayang dari Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.  

Sama dengan status suami, istri berfungsi juga sebagai pemimpin dan penolong suami, bermitra dalam beramar makruf nahi munkar, berkewajiban sama untuk beribadah kepada Allah. Lalu jaminan Allah, baik istri maupun suami yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya keduanya berhak atas rahmat dan kasih sayang Allah SWT. 

Ini merupakan hakikat asas kesetaraan gender dalam makna agama. Hal itu termasuk ketetapan dari Allah yang Mahabijaksana. Sebaliknya, jika suami tetap dalam posisi yang memaksa, menggunakan kedudukannya untuk berbuat durhaka, serta mengabaikan ajaran agama, istri berkewajiban untuk mengingatkan dan meluruskan. 

Di samping kekuatan autoritatif yang dimiliki suami, nyatanya ada titik-titik lemah yang hanya diketahui oleh sang istri. Istri yang cerdas dan kuat beragama akan mampu mengarahkan langkah ke arah keselamatan bersama.

Masalahnya jika upaya mencegah tidak mendapatkan hasil dan keberhalaan menguasai prinsip hidup suami, istri tak perlu kecil hati. Ada contoh ketidakberdayaan yang berakibat pada kemuliaan, yakni teladan dari Asiah binti Muzahim, istri Fir’aun. 

Doa Asiah cukup mewakili kehebatan dirinya itu, “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata, ‘Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim” (QS at-Tahrim [66]:11).  

Asiah adalah permaisuri, istri raja yang memilih hidup yang jelas dan terang di tengah gelapnya jalan hidup suami. Pantaslah jika Rasulullah SAW memuji Asiah di samping Khadijah, Fatimah, Maryam sebagai orang yang paling berbahagia di dunia dan akhirat. Maka, berbahagialah istri yang mencegah suami ke jalan kemungkaran.
Oleh: Rohani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bulan Rabiul Awal kini telah mendatangi umat Islam yang senantiasa mengisinya dengan memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW. Muhammad merupakan nama Nabi Agung yang telah menyelamatkan dan menyempurnakan agama-agama yang pernah disampaikan para nabi sebelumnya dalam satu agama yang dikemas dengan nama Islam untuk dijadikan satu-satunya agama yang diterima dan diridhai Allah swt. 

Muhammad artinya orang yang dipuji. Nama ini benar-benar telah menjadi nyata dan terukir dalam sejarah. Dan Allah swt mengakui dan mengumumkan kepada dunia dengan firman-Nya, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar memiliki Akhlak yang agung.” (QS al-Qalam [68]: 5)

Tujuan Allah SWT mengutus Rasulullah kepada umat manusia semuanya agar mereka menjadikan teladan dan mengikuti Nabi SAW sehingga para manusia mendapatkan berkahnya dan menjadi Muhammad-Muhammad kecil yang bertebaran di muka bumi ini. Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu dapati dalam diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan Hari Akhir serta yang banyak mengingat Allah (QS al-Ahzab [33]: 22).

Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Katakanlah, jika kamu mencintai Allah maka ikutilah aku, kemudian Allah pun akan mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, MahaPenyayang (QS Ali Imran [3]: 32)

Dikemukakannya beberapa contoh akhlak yang mulia Sayyidina Almusthofa, Muhammad SAW, agar kita mengetahui dan mencontohnya dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Sejarah menjadi saksi bahwa semua kaum di Arab sepakat memberikan gelar kepada Muhammad SAW “Al-Amin”. Artinya orang yang terpercaya, padahal waktu itu beliau belum dinyatakan sebagai Nabi. 

Peristiwa ini belum pernah terjadi dalam sejarah Makkah dan budaya Arab. Hal itu menjadi bukti bahwa Rasulullah memiliki sifat itu dalam kadar begitu tinggi sehingga dalam pengetahuan dan ingatan kaumnya tidak ada orang lain yang dapat dipandang menyamai dalam hal itu. Kaum Arab terkenal dengan ketajaman otak mereka dan apa-apa yang mereka pandang langka, pastilah sungguh-sungguh langka lagi istimewa.

Diriwayatkan bahwa Muhammad SAW memerintahkan supaya lalu lintas umum tidak boleh dipergunakan sehingga menimbulkan halangan atau menjadi kotor atau melemparkan benda-benda yang najis atau tidak sedap dipandang ke jalan umum atau mengotori jalan dengan cara apa pun karena semua itu perbuatan yang tidak diridhai Tuhan. 

Beliau sangat memandang penting upaya agar persediaan air untuk keperluan manusia dijaga kebersihan dan kemurniannya. Umumnya, beliau melarang sesuatu benda dilemparkan ke dalam air tergenang yang mungkin akan mencemarinya dan memakai persediaan air dengan cara yang dapat menjadikannya kotor (Al-Bukhari dan Muslim, Kitabal-Barr wal-Sila)

Rasulullah mandiri dalam menerapkan keadilan dan perlakuan. Sekali peristiwa suatu perkara dihadapkan kepada beliau tatkala seorang bangsawan wanita terbukti telah melakukan pencurian. Hal itu menggemparkan karena jika hukuman yang berlaku dikenakan terhadap wanita muda usia itu, martabat suatu keluarga sangat terhormat akan jatuh dan terhina. 

Banyak yang ingin mendesak Rasulullah SAW menghukumnya demi kepentingan orang yang berdosa itu, tetapi tidak mempunyai keberanian. Maka, Usama diserahi tugas melaksanakan itu. Usama menghadap Rasulullah SAW, tetapi serentak beliau mengerti maksud tugasnya tersebut. beliau pun sangat marah dan bersabda, “Kamu sebaiknya menolak. Bangsa-bangsa telah celaka karena mengistimewakan orang-orang kelas tinggi, tetapi berlaku kejam terhadap rakyat jelata. Islam tidak mengizinkan dan aku pun sekali-kali tidak akan mengizinkan. Sungguh, jika Fathimah, anak perempuanku sendiri melakukan kejahatan, aku tidak akan segan-segan menjatuhkan hukuman yang adil “ (Al-Bukhari, Kitabul-Hudud)



Oleh: Imam Nur Suharno

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengakuan tulus dari seorang mantan presiden Burhanudin Jusuf (BJ) Habibie tentang sosok perempuan yang selalu berada di balik kesuksesannya muncul beberapa waktu lalu. Pemimpin yang sempat mengawal proses reformasi di Indonesia ini mengungkapkan betapa Hasri Ainun Habibie sebagai istri menjadi kekuatannya dalam masa-masa sulit.

“Saya menerima penghargaan ini atas nama keluarga dan anak-anak, menantu, dan cucu, khususnya kepada istri saya tercinta, dokter Hasri Ainun Habibie yang telah mendampingi dengan kesetiaan yang tulus serta dengan pengorbanan yang ikhlas sehingga saya dapat menjadi hamba Allah seperti sekarang ini.” ujarnya pada Pidato Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang Filsafat dan Teknologi Universitas Indonesia. Dia menambahkan, “Di balik sukses seorang tokoh, tersembunyi peran dua wanita yang amat menentukan, yaitu ibu dan istri.” (Republika Online).

Kisah di atas memberikan pelajaran bahwa di balik setiap kesuksesan suami selalu ada peran seorang istri. Penyebabnya, Allah SWT telah menganugerahkan kesabaran kepada perempuan (istri) untuk merawat keluarganya tanpa berkeluh kesah. Perempuan juga dihiasi dengan perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai anak-anaknya. Maka, makhluk yang diciptakan dari tulang rusuk lelaki ini juga kerap menjadi sumber inspirasi bagi suaminya.

Ketika masa kenabian, profil Khadijah binti Khuwailid bin As’ad bin Abd Al-Uzza’, istri baginda Nabi Muhammad SAW, tak bisa dilupakan. Dia turut berperan dalam kesuksesan dakwah Nabi SAW. Tak hanya itu, seluruh hidupnya diberikan untuk mendukung dan membela dakwah Rasulullah SAW bersama para sahabatnya.

Tentang istri pertamanya ini, Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak menggantikan untukku perempuan yang lebih baik darinya. Dia beriman kepadaku saat orang lain ingkar kepadaku, dia memercayaiku saat orang lain mendustakanku, dia menolongku dengan hartanya saat orang lain tidak ada yang menolongku, dan Allah telah mengaruniakan kepadaku putra (dari hasil perkawinan dengannya) sedang perempuan-perempuan lain tidak.”

Keistimewaan Khadijah pun diakui Allah SWT. Abu Hurairah RA menyatakan bahwa Jibril datang kepada Nabi SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, Khadijah sedang berjalan kemari. Dia membawa wadah yang berisi kuah, makanan atau minuman. Jika dia sampai kepadamu maka katakanlah bahwa Tuhannya dan aku menyampaikan salam kepadanya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepadanya bahwa dia mendapat sebuah rumah di dalam surga.” (Muttafaq ‘alaih).

Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling mendukung dalam kebaikan, bekerja sama, dan tolong menolong. (QS at-Taubah [9]: 71). Dan, menjadikan sepasang suami-istri seperti pakaian yang saling melengkapi dan menutupi kekurangan di antarkeduanya.

Seperti yang difirmankan Allah SWT. “....Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka...” (QS al-Baqarah [2]: 187). Semoga Allah menganugerahi kepada kita pendamping—suami/istri—yang selalu istiqamah dalam berjuang di jalan-Nya. Aamiin.



TAK ada yang tidak transparan dalam Islam, termasuk soal urusan ranjang. Sepanjang tidak terkait dengan deskripsi praktik dan detil, maka semua terbuka, dan dibolehkan untuk dibicarakan.
Satu hal yang mungkin tak akan bisa terhindarkan dalam hubungan suami istri adalah percumbuan sebelum dan ketika melakukan hubungan yang dalam Islam ini sangat suci. Bagaimana jika istri kemudian tengah berada dalam kondisi menyusui?
Dibolehkan bagi suami untuk menghisap puting istrinya. Bahkan hal ini dianjurkan, jika dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis sang istri. Sebagaimana pihak lelaki juga menginginkan agar istrinya memenuhi kebutuhan biologis dirinya.
Adapun ketika kondisi istri tengah menyusui bayi, kemudian suami minum susu istri, para ulama ada bebarapa pendapat di sebagian kalangan.
Madzhab Hanafi berselisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh dan ada yang me-makruh-kan.
Dalam Al-Fatawa al-Hindiyah (5/356) disebutkan, “Tentang hukum minum susu wanita, untuk laki-laki yang sudah baligh tanpa ada kebutuhan mendesak, termasuk perkara yang diperselisihkan ulama belakangan.”
Dalam Fathul Qadir (3/446) disebutkan pertanyaan dan jawaban, “Bolehkah menyusu setelah dewasa? Ada yang mengatakan tidak boleh. Karena susu termasuk bagian dari tubuh manusia, sehingga tidak boleh dimanfaatkan, kecuali jika terdapat kebutuhan yang mendesak.”
Sikap yang lebih tepat adalah suami berusaha agar tidak minum susu istri dengan sengaja, karena dua hal:
Keluar dari perselisihan ulama. Karena ada sebagian yang melarang, meskipun hanya dihukumimakruh.
Perbuatan ini menyelisihi fitrah manusia.
Suami yang pernah minum susu istrinya, tidaklah menyebabkan dirinya menjadi anak persusuan bagi istrinya.
Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin mengatakan: “Menyusui orang dewasa tidak memberi dampak apapun, karena menyusui seseorang yang menyebabkan adanya hubungan persusuan adalah menyusui sebanyak lima kali atau lebih dan dilakukan di masa anak itu belum usia disapih. Adapun menyusui orang dewasa tidak memberikan dampak apapun. Oleh karena itu, andaikan ada suami yang minum susu istrinya, maka si suami ini TIDAK kemudian menjadi anak sepersusuannya,” (Fatawa Islamiyah, 3/338). Wallohu alam bi shawwab.


    ''Ketika kita sudah menguasai dunia, kita tidak akan membolehkan adanya satu agama pun kecuali agama kita. Oleh karenanya, kita wajib menggoyahkan sendi-sendi keimanan dan hasil sementara usaha kita ini adalah munculnya kaum ateis.''
    
Kalimat tersebut dikutip dari Protokol Zionisme no. 14. Protokol Zionisme ini merupakan keputusan kongres intelektual Yahudi sedunia pada 1897 di Kota Basel, Swiss. Dokumen rahasia Zionisme berbahasa Ibrani itu dicuri oleh seorang perempuan Perancis dan sampai ke Rusia. 

Selanjutnya, dokumen itu diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Rusia oleh Prof Nilus pada 1901. Kemudian, Protokol berisi 24 poin tersebut diterjemahkan ke  berbagai bahasa di dunia. 
    
Ada beberapa isu yang berkembang di Indonesia, yang tidak diketahui pasti apakah merupakan implementasi dari Protokol Zionisme no. 14 atau hanya muncul secara kebetulan saja. 

Hanya, apabila dicermati, isu tersebut menyasar penghapusan agama seperti yang ditulis dalam Protokol Zionisme no.14. Isu-isu tersebut diantaranya sebagai berikut:

Pertama, pluralisme agama. Isu ini sudah muncul di Indonesia dan berbagai negara di dunia sejak beberapa tahun terakhir. Pluralisme agama (al-ta’addud al-diniyy/religious pluralism) berbeda dari pluralitas agama (ta’addud al-adyan/plurality of religions). 

Pluralitas agama merupakan satu fakta di suatu negeri terdapat berbagai agama. Islam mengakui dan menghormati adanya pluralitas agama tanpa mengakui kebenarannya masing-masing kecuali kebenaran agama Islam.
Prinsip yang dipakai Islam untuk mengakui dan mengormati agama selain Islam adalah lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). 

Sementara pluralisme agama adalah sebuah agama baru yang mengajarkan bahwa semua agama itu benar dan semua pemeluk agama akan sama-sama masuk ke dalam surga. Islam tidak megakui dan tidak membenarkan adanya pluralisme agama. 

Pluralisme agama memiliki sasaran setiap orang tidak perlu lagi menganut agama tertentu karena setiap hari dapat pindah ke agama lain. Bila hal ini terjadi, maka setiap orang sudah tidak memerlukan agama lagi dan ini artinya agama sudah terhapus.

Kedua, pernikahan beda agama. Isu ini sedang dihembuskan di Indonesia bahkan sedang diperjuangkan oleh kelompok tertentu untuk dilegalkan.
Apabila pernikahan beda agama sudah dilegalkan di negeri kita, maka orang Islam tidak perlu lagi membutuhkan ritual akad nikah dengan keharusan adanya wali, saksi, dan sebagainya seperti diatur dalam hukum Islam. 

Yang bersangkutan cukup datang ke lembaga pencatat nikah untuk mencatat pernikahannya tanpa keharusan mengikuti ajaran suatu agama.
Apabila ini terjadi maka aturan-aturan agama yang berkaitan dengan pernikahan sudah tidak diperlukan lagi dan dengan sendirinya ajaran agama yang berkaitan dengan pernikahan sudah terhapus.

Ketiga, penghapusan kolom agama dalam kartu tanda penduduk (KTP). Ketika kolom agama sudah tidak ada di KTP, pemegang kartu penduduk dilegalkan tidak beragama.
Begitu pula ketika kolom agama masih tertulis dalam KTP, namun pemilik KTP tidak diwajibkan menulis agama, berarti pemegang KTP dilegalkan tidak beragama. Ini juga merupakan langkah penghapusan agama sekaligus langkah maju komunisme di Indonesia.

Keempat, penghapusan doa menurut agama masing-masing dan diganti dengan doa bersama. Isu ini muncul terakhir di negeri kita.
Apabila dimaksudkan sebagai doa bersama-sama dalam satu majelis, yakni tiap-tiap pemeluk agama berdoa menurut ajaran agamanya, doa bersama dibenarkan menurut ajaran Islam. Pprinsipnya pluralitas agama di atas yaitu lakum dinukum waliyadin. 

Namun, apabila tujuannya berbeda, yakni doa model baru tanpa terkait dengan agama masing-masing, maka hal itu merupakan implementasi dari penghapusan agama dan tidak dibenarkan menurut ajaran Islam.

Empat isu tersebut sedang berkembang dan tampaknya berkaitan, baik langsung atau tidak langsung dengan Protokol Zionisme no.14 di atas tentang penghapusan agama-agama di dunia selain Yahudi. Semoga Allah menjaga kita dari upaya-upaya penyesatan dan pengkafiran. Amin. REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof KH Ali Mustafa Yaqub


Kesempatan sering tidak datang dua kali. Semoga Allah SWT menjadikan kita semua sebagai orang yang pandai memanfaatkan kesempatan yang datang untuk memperoleh kebaikan dan menghindarkan dari keburukan. 

Rasulullah SAW berpesan agar kita pandai memanfaatkan kesempatan sehat sebelum datangnya sakit. Kesehatan dan waktu luang merupakan dua nikmat yang membuat banyak manusia tertipu.

Doktor Muhammad Al Rusyaid rahimahullah, mantan menteri pendidikan di Kerajaan Saudi Arabia, memberikan wasiat yang sangat berkesan dalam akun Ttwitter-nya pada pengujung 2013 sebelum beliau wafat.


"Di ruang isolasi penuh dengan segala fasilitas, seperti lemari pakaian, pakaian yang baru, kamar mandi yang bersih, perawatan yang intensif, tapi ada dua hal yang tidak didapatkan, kesehatan dan kebebasan."

"Di ruang isolasi, saya seperti dipenjara. Saya ikut merasakan kesulitan-kesulitan yang dialami mereka yang berada di dalam sel. Saya menyadari kebodohan saya dahulu yang menganggap mereka mudah beradaptasi. Betapa agungnya para pejuang kebenaran yang sabar menghabiskan waktu yang lama tinggal di balik teralis besi."

"Berempatilah kalian terhadap orang-orang yang di penjara, baik mereka bersalah maupun tidak bersalah. Doakanlah untuk kebaikan mereka. Sesungguhnya terisolasinya mereka dari dunia luar membunuh mereka. Kesendirian mengakibatkan rasa waswas, membuka pintu depresi, dan menyebabkan penyakit fisik dan mental."

"Warna putih yang mendominasi di rumah sakit tidak hanya mengingatkan saya akan kain kafan, tapi justru mengingatkan saya akan noda-noda hitam dalam kehidupan saya pada masa lalu. Warna putih yang saya lihat memotivasi saya untuk membersihkan segala noda hitam yang ada pada diriku."

"Di ruang isolasi ini, saya memiliki banyak kesempatan untuk merenung. Setiap orang perlu menggunakan sebagian dari waktunya untuk menyendiri, merenung, dan bertafakur. Cobalah!"

"Kesehatan merupakan mahkota di atas kepala orang-orang yang sehat, hanya orang-orang sakit saja yang dapat melihat mahkota tersebut. Saya hafal kalimat tadi sejak kecil, tapi baru memahami kedalaman maknanya saat sekarang ini. Apakah Anda perlu pengalaman pahit terlebih dahulu untuk mengetahui suatu hakikat?"

"Setelah dilakukan pencangkokan sumsum tulang belakang dan pengobatan kemoterapi, selama 16 hari tanpa makan, hilang selera makan. Minum pun hanya seseruput dan terpaksa. Sesungguhnya nilai kesehatan itu mahal, siapakah yang mau memberi peringatan kepada orang-orang yang sehat?!"

"Sebagian penyakit tidak diketahui sebabnya seperti penyakitku ini, tapi masih banyak penyakit yang diketahui sebab-sebabnya. Orang yang pandai adalah yang memohon pertolongan kepada Allah, kemudian menghindari penyebab penyakit dan menjaga kesehatannya."

"Penyakit itu di satu sisi merupakan nikmat. Dengan sakit, ketergantunganku kepada Allah semakin kuat, orang-orang yang saya cintai berdatangan menjengukku, jiwaku terasa lebih jernih.Alhamdulillah."

"Pesanku untuk kalian! Bacalah wasiat-wasiatku di atas dengan teliti agar kita merasakan hidup ini penuh dengan kenikmatan! Ya Rabb, langgengkanlah kenikmatan untuk kami. Studimu waktu SMA dan universitas, semua spesialisasimu bagaikan debu sama sekali tidak bermanfaat saat malam pertamamu di kubur. Yang tersisa hanya pelajaran kelas satu SD tentang pertanyaan, ‘Siapa Rabbmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?’"

Semoga Allah SWT menganugerahkan kesehatan dan kesejahteraan kepada kita semua. Semoga Allah menetapkan kesabaran bagi saudara kita yang sedang sakit dan keluarganya.
Semoga segala kesempatan yang Allah berikan kepada kami untuk bertobat dan beramal saleh dalam sisa umur ini dapat kami manfaatkan sebaik-baiknya. Amin.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fariq Gasim Annuz


Imam Thawus bin Kaisan, ulama Yaman, pernah melihat Imam Ali Zainal Abidin cucu Ali bin Abi Thalib RA berdiri di bawah naungan Ka’bah, sedang meratap, bermunajat, dan berdoa sambil menangis.

Thawus bertanya, “Wahai cucu Rasulullah SAW, kulihat Anda dalam keadaan demikian padahal Anda memiliki tiga keutamaan yang saya kira bisa mengamankan Anda dari rasa takut.”


Ali Zainal Abidin berkata, “Apakah itu wahai Thawus?” Thawus menjawab, “Pertama, Anda adalah keturunan Rasulullah SAW. Kedua, Anda akan mendapatkan syafaat dari kakek Anda dan ketiga, rahmat Allah bagi Anda.

Zainal Abidin berkata, “Wahai Thawus, garis keturunanku dari Rasulullah tidak menjamin keamananku setelah kudengar firman Allah: “... kemudian ditiup lagi sangkakala, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka hari itu ...” (QS al-Mu'minun: 101).

Ia lalu melanjutkan, "Adapun tentang syafaat kakekku, Allah SWT telah menurunkan firman-Nya: “Mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Surat al-Anbiya: 28).
Sedangkan mengenai rahmat Allah, lihatlah firman-Nya: “Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat pada orang-orang yang berbuat baik.” (Surat al-A’raf: 56).

Ali Zainal Abidin gemar beribadah dan berdoa, di antara doanya, "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu jangan sampai ditampakkan baik dalam pandangan manusia padahal tersimpan hati yang buruk."
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah dalam bukunya Shaidul Khathir berkata, "Tanda orang yang ikhlas ialah jika di hadapan orang sama dengan kesendiriannya."

Beliau seorang yang dermawan, penyabar, rendah hati, santun dalam berbicara, dan memiliki hati yang bersih. Kemuliaan nasab tidak menjadikannya sombong dan tidak merasa aman dari azab, bahkan, sering berdoa sambil menangis memohon ampunan dari Allah.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya.” (HR Muslim dan lainnya).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Barang siapa yang kurang amalnya, maka tidaklah bisa mencapai kedudukan orang yang banyak beramal. Sudah seharusnya seseorang tidak bersandar pada kemuliaan nasab dan keutamaan nenek moyangnya, yang menyebabkan ia tidak banyak beramal.” (Syarah Shahih Muslim).

Imam Ali Zainal Abidin rahimahullah sangat mencintai sahabat-sahabat radhiallahu anhum. "Beliau kedatangan beberapa orang tamu dari Irak, lalu mereka mendiskreditkan dan menjelekkan Abu Bakar, Umar, dan Utsman.

Ketika mereka selesai bicara, beliau bertanya, ”Apakah kalian termasuk kaum muhajirin yang Allah firmankan dalam surah al-Hasyr, "Mereka yang diusir dari kampung halaman dan dipaksa meninggalkan harta benda mereka, hanya karena mereka ingin memperoleh karunia Allah dan keridhaan-Nya dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Apakah kalian termasuk mereka?"  Mereka menjawab, ”Bukan ....”

Apakah kalian termasuk kaum Anshar yang dinyatakan dalam Alquran surah al-Hasyr, ‘Mereka yang tinggal di Madinah dan telah beriman kepada Allah sebelum kedatangan kaum Muhajirin. Mereka itu mencintai dan bersikap kasih sayang kepada orang-orang yang datang berhijrah kepada mereka, dan hati mereka tidak iri terhadap apa yang diberikan kepada kaum Muhajirin. Bahkan, mereka lebih mengutamakan orang-orang yang hijrah daripada diri mereka sendiri, kendatipun mereka berada dalam kesusahan?

”Bukan ...!” jawab mereka. Lalu beliau berkata, "Kalian sudah mengakui bukan termasuk ke dalam salah satu dari kedua golongan tadi. Aku bersaksi kalian pasti bukanlah orang yang dimaksud dalam firman Allah, “Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman.” (Surah al-Hasyr:10). Maka keluarlah kalian dari rumahku, semoga Allah membalas keburukan kalian.” (Shifatu Ash Shafwah, juz 1 halaman 387).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fariq Gasim Annuz
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Media massa kini bak padang Kurukshetra bagi mereka yang mendukung atau membenci seseorang. Salah satu tokoh yang kini sering dielu-elukan atau bahkan disindir adalah Presiden RI Joko Widodo.
Jika SBY memiliki kalimat 'sakti', "Saya prihatin," warga dunia maya juga ternyata mencatat berkali-kali Presiden Jokowi menyebut kalimat ini. Seakan-akan menyindir, ribuan netizen menyemarakkan twitter dengan tagar #BukanUrusanSaya.
Seperti akun ‏@herlan_riyanto "@DS_Andiniq:Fix asbun yg blg hrg efek domino ga bakal naik y @odongodong4: #BukanUrusanSaya @jokowi_do2. Begitu juga dengan ‏@IfathNungka, "Urusane Speak Bombay wae LOL "@tkginternet: kalau semua #BukanUrusanSaya lalu urusan saya apa? @PintarPolitik"
Akun, @peppramu juga menyebut "#BukanUrusanSaya "@bamset77: "@ad_dhoif: Gmn ya reaksi org ini stlh pollycarpus bebas bersyrat? :)) " 
Berdasarkan penelusuran Republika, sejak menjabat menjadi Gubernur DKI, Jokowi sempat beberapa kali menjawab dengan kalimat tersebut. Mulai dari Jembatan Blok G hingga persoalan Bus Transjakarta rusak.


REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdul Syukur

Suatu waktu, Rasulullah SAW kedatangan tamu orang yang sangat tidak mampu (miskin), Rasulullah mengajak tamu tersebut ke rumah salah seorang istri beliau agar bisa dijamu selayaknya. Namun, istri Rasulullah hanya memiliki air putih dan tidak bisa menghidangkan makanan yang lain.

Rasulullah SAW kemudian membawa tamunya kepada para sahabatnya, seraya menawarkan, “Siapa saja yang memuliakan tamuku ini, akan mendapat surga.” Salah seorang sahabat yang bernama Abu Thalhah spontan menjawab, “Saya Rasulullah!
Ia belum sempat berpikir, apakah di rumah ada makanan atau tidak? Yang terpenting, dia  bisa menolong orang lain dan mendapatkan surga sebagaimana ditawarkan Rasulullah SAW.

Selanjutnya, tamu Rasulullah itu pun diajak ke rumahnya. Sampai di rumah, ia berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah ini!” Istrinya menjawab, “Kita tidak punya persediaan makanan, kecuali untuk si kecil anak kita!

Tanpa berpikir panjang, Abu Thalhah langsung mengutarakan idenya, “Siapkan makanan itu, lalu pura-puralah memperbaiki lampu penerang yang ada di rumah, dan tidurkanlah anak kita!” Ketika hari sudah gelap, tamu Rasulullah itu diajak ke tempat makan.

Istri Abu Thalhah sibuk mempersiapkan hidangan seakan-akan untuk seluruh anggota keluarganya ditambah tamu Rasulullah.

Setelah makanan dihidangkan, istri sahabat itu mendekati lampu penerang rumahnya, berpura-pura memperbaikinya, dan kemudian memadamkannya.
Tujuannya tidak lain, agar sang tamu merasa nyaman menikmati hidangan itu sendirian. Sebab, porsi makanan yang ada hanya cukup untuk satu orang.

Tamu itu menikmati hidangan yang ada dengan lahap, tanpa merasa ada yang janggal dalam jamuan makan malam itu. Dia mengira tuan rumah juga ikut makan bersamanya.
Keesokan harinya, Abu Thalhah menghadap Rasulullah SAW, ia disambut dengan senyuman, lalu beliau bersabda, “Allah tertawa (rida) dengan yang kalian lakukan berdua tadi malam.

Hasilnya, Rasulullah rida dengan simbol berupa senyuman ketika bertemu Abu Thalhah, dan menyampaikan kabar gembira bahwa Allah pun rida dengan apa yang mereka berdua lakukan.
Setidaknya ada tiga hikmah yang bisa kita petik dari kisah yang menjadi sebab turunnya Surah al-Hasyr ayat 9 ini.

Pertama, betapa Rasulullah SAW dan Abu Thalhah sahabatnya memiliki jiwa penolong yang sangat mengagumkan sehingga dengan jiwa tersebut, keduanya tidak sempat berpikir apakah di rumahnya ada makanan yang bisa disuguhkan pada tamunya atau tidak? Yang penting memberi!

Kedua, ketika kedermawanan sudah mendarah daging dalam diri seseorang, berbagai cara bisa ia lakukan untuk tetap bisa memberi kepada orang lain, betapapun sulitnya kondisi yang sedang ia alami.

Ketiga, orang yang dermawan tidak pernah memikirkan tentang dirinya saat hendak memberi, apa yang akan ia makan? Bagaimana nasibnya nanti ketika ia memberi apa yang dibutuhkannya kepada orang lain?
Bahkan, orang yang dermawan mungkin saja menomorduakan kebutuhan keluarganya ketika ada orang yang lebih membutuhkan.

Maka pantas jika kemudian orang yang memiliki jiwa seperti ini akan mendapat rida Allah SWT. Dan di akhirat akan dimasukkan ke surga-Nya. Sebab, orang yang seperti ini lebih mengutamakan orang lain, atas diri mereka sendiri.

Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Hasyr [59]: 9).
Oleh: Ali Mustafa Yaqub   

Sahabat Hudzaifah bin al-Yaman memiliki kebiasaan yang berbeda dari sahabat lain. Dalam Kitab Shahih al-Bukhari, Kitab al-Fitan, ia berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir keburukan itu menimpa saya. Maka saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, semula kita ini berada pada zaman jahiliah dan keburukan. Kemudian, Allah mendatangkan kebaikan (agama Islam) kepada kita. Apakah sesudah kebaikan ini ada keburukan?” 


Nabi SAW menjawab, “Ya, ada.” Saya bertanya lagi, “Apakah setelah keburuan itu ada kebaikan?” Beliau menjawab, “Ya, ada kebaikan, tetapi berkabut.” Saya bertanya lagi, “Apakah kabutnya?” Beliau menjawab, “Ada orang-orang yang mengambil petunjuk selain petunjukku. Kamu mengetahui kebaikan dan keburukan mereka.” 

Saya bertanya lagi, “Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan lagi?” Beliau menjawab, “Ya, ada, yaitu dai-dai di atas pintu Jahanam. Siapa yang mengikuti mereka, ia akan dijerumuskannya ke Jahanam itu.” 

Saya bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa tanda-tanda mereka?” Beliau menjawab, “Mereka adalah dari kulit kita dan berbicara dengan lisan kita.” Saya bertanya lagi, “Apa yang Engkau perintahkan kepada saya apabila hal itu menimpa diri saya?” Rasulullah SAW menjawab, “Tetaplah kamu bersama Jama’atul Muslimin dan imam mereka.” 

Saya bertanya lagi, “Apabila kaum muslimin tidak memiliki jamaah dan imam (pemimpin)?” Beliau menjawab, “Tinggalkanlah kelompok-kelompok itu semuanya meskipun kamu akan mengigit akar pohon sampai kamu mati dan kamu tetap seperti itu.”

Dalam hadis ini, Rasulullah periode keadaan umat Islam. Pertama, jahiliah; kedua, Islam; ketiga, buruk; keempat, baik berkabut; dan kelima, buruk. 

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud buruk yang pertama. Imam al-Qadhi ‘Iyadh (544 H), seperti dinukil oleh Imam Ibnu Hajar (852 H) dalam kitabnya, Fath al-Bari (xxvii/42), mengatakan, yang dimaksud dengan keburukan yang pertama, yaitu fitnah-fitnah (perpecahan umat) yang terjadi setelah wafatnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. 

Sedangkan yang dimaksud dengan kebaikan berkabut, yaitu apa yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Selain itu, Imam Ibnu Hajar sendiri mengatakan, “Menurut saya, yang dimaksud dengan keburukan pertama, yakni perpecahan pertama kali yang terjadi di tubuh umat Islam. Sedangkan, apa yang dimaksud dengan baik berkabut adalah kesepakatan antara Sayyidina Ali dan Mu’awiyah (kebaikan). Adapun yang dimaksud dengan kabut adalah apa yang terjadi pada masa keduanya, yakni muncul kelompok-kelompok Khawarij, yaitu kelompok pembangkang atau pemberontak terhadap pemerintah sah dan menghalalkan darah sesama Muslim. Sedangkan, yang dimaksud dengan dai-dai di atas pintu Jahanam adalah kelompok Khawarij dan semisalnya.” 

Imam al-Qadhi ‘Iyadh dan Imam Ibnu Hajar tentu tidak menafsirkan hadis Nabi tadi sesuai dengan apa yang terjadi pada masa sekarang (1436 H). Beliau mengisyaratkan munculnya kelompok Khawarij pada masa awal Islam. Sedangkan, pemikiran Khawarij justru berkembang pada masa sekarang. 

Lebih dari itu, pengertian dai di atas neraka tidak sebatas pada kelompok Khawarij, tetapi setiap orang yang mengajak orang lain untuk tidak mengesakan Allah, bahkan  tidak mengimani dan tidak menaati-Nya. Dai-dai seperti ini belakangan ternyata muncul baik melalu lisan maupun tulisan. 

Mereka mengklaim dirinya sebagai Muslim, namun mengajarkan bahwa Tuhan itu bukan Allah SWT, melainkan salah seorang sahabat dari sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Semoga Allah menjaga kita dari penyesatan dan pengafiran. Aamiin.
REPUBLIKA.CO.ID


Flag Counter

Recent Posts

Psy - Gangnam Style

Text Widget